Peristiwa penembakan Marinir TNI AL yang menewaskan empat orang dan melukai tujuh warga Alas Tlogo Pasuruan menempatkan TNI dalam posisi terpojok. Persitiwa ini juga membuka diskursus sensitif yang banyak disorot publik dan dunia internasional, yakni keterlibatan militer dalam pelanggaran dan kejahatan HAM di Indonesia serta bisnis militer
Alkisah, Presiden Soekarno dalam pidato 17 Agustus 1953 berkata “angkatan bersenjata tidak boleh ikut-ikut politik, tidak boleh diombang-ambingkan politik”. Begitu juga Jendral M.Yusuf dengan aksentuansi bugisnya berkata “Sehebat-hebat kau mau maju, itu urusan kamu, tapi kalau kau masih aktif, kau tinggalkan itu dagang supaya dapat menjadi tentara yang baik”.(Samego dan Indria:1998).
Syahdan, imbauan Soekarno dan M.Yusuf tetap sekedar imbaun. Aktivitas politik dan bisnis militer tetap jalan bahkan semakin menggurita. Konon kabarnya, konglomerat besar di negeri ini banyak dari kalangan kaum berseragam hijau.
Di lapangan agraria, kehadiran militer membuahkan konflik agraria lebih manifes. Penggunaan kekerasan dan pendekatan keamanan sering digunakan dari pada penyelesaian konflik secara persuasif. Di masa Soeharto, penggunaan kekerasan dan pendekatan keamanan ini untuk menaklukan rakyat dari penguaasaan tanah dan sumber daya alam.
Ada dua model keterlibatan militer dalam konflik agraria. Pertama, terlibat langsung berkonflik dengan rakyat seperti yang terjadi di Pasuruan. Kedua militer menjadi beking dari badan usaha swasta dan BUMN yang sedang berkonflik dengan rakyat.
Kejadian di Pasuruan hanya menambah daftar kekerasan militer dalam konflik agraria. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (1970-2001) menunjukkan keterlibatan militer terjadi 18 Propinsi dan melibatkan semua angkatan termasuk POLRI. Dari 1.753 sengketa/konflik agraria, sebanyak 59 kasus melibatkan militer.
Selain itu, keterlibatan militer dalam konflik agraria terjadi di semua sektor lapangan agraria. Baik di sektor kehutanan, pertambangan, perkebunan, pembangunan bendungan, bahkan sampai pada pembangunan perumahan dan sektor industri.
Bisnis Militer di Lapangan Agraria
Intensitas militer dalam konflik agraria erat kaitannya dengan aktivitas bisnis militer di lapangan agraria. Dimulai ketika militer ikut terlibat mengurus perkebunan ex Belanda yang di nasionalisasi.
Jendral AH.Nasution sebagai kepala angkatan perang RI memerintahkan wakil direktur perkebunan dijabat oleh Tentara yang ditunjuk olehnya. Sejak saat itulah militer, terutama angkatan darat terlibat aktif mengelola perkebunan dan pertambangan, dan tahun 1964 dan 1965 semakin gencar setelah perusahaan Inggris dan Amerika dalam pengawasan tentara.
Langgengnya bisnis militer di lapangan agraria seolah menjadi kesepakatan tak terulis antar petinggi militer dan pimpinan nasional. Ketidaksanggupan negara membiayai anggaran militer menjadi legitimasi serdadu berkebun sawit, yayasan milik ABRI berbisnis tambang, dan kaum berseraga coklat menjadi raja hutan. (Danang Widyoko,dkk)
Di samping sebagai pelaku bisnis di lapangan agraria, melalui doktrin dwi fungsi ABRI, militer ikut memberangus program pembaruan agraria populis masa Soekarno. Menyukseskan pembangunan kapitalisme di sektor agraria, seperti program revolusi hijau, eksploitasi hutan dan program agro industri. Belakangan, semua proram ini hanya menjadikan konflik agraria bersifat struktural.
Penyelesaian Konflik Agraria
Berkaca dari keterlibatan militer dalam konflik agraria sepanjang masa, maka penyelesaian konflik agraria menjadi bagian penting dari tuntutan reformasi TNI. Berbagai langkah yang harus dilakukan antara lain : Pertama, pemerintah menginventarisasi aset-aset militer yang menggunakan areal tanah yang begitu luas dan melanggar pasal (7) UUPA No.5/1960, Kedua, aset-aset militer yang peruntukannya untuk penguatan institusi militer seperti pusat latihan tempur, perumahan (home base) yang disengketakan dengan rakyat dilakukan proses mediasi secara adil dengan tetap berpegang pada UUPA No.5/1960 bahwa tanah untuk rakyat.
Ketiga, aset-aset militer yang diperoleh dengan cara merampas tanah rakyat hendaknya dikembalikan kepada rakyat. Keempat, menertibkan seluruh bisnis militer baik yang dikelola atas nama koperasi atau yayasan militer dan izin usahanya dicabut, dan tanahnya dijadikan objek landreform. Karena militer adalah bagian dari rakyat, maka mereka diidentifikasi sebagai subjek landreform.
Mengingat intensitas keterlibatan militer dalam konflik agraria cukup tinggi, maka pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang membatasi militer terlibat langsung dalam konflik agraria yang melibat rakyat versus badan usaha.
Tentu semua orang menginginkan angkatan bersenjata yang kuat dan tangguh, maka diperlukan tempat latihan dan anggaran operasional serta kesejahteraan prajurit. Agar tidak menimbulkan konflik, maka struktur penguasaan, peruntukan dan pemanfaatan tanah harus ditata ulang. Tentunya dengan mempertimbangkan areal lahan untuk kepentingan militer. Restrukturisasi ini hanya bisa dilakukan bila pemerintah melakukan Reforma Agraria.
Alkisah, Presiden Soekarno dalam pidato 17 Agustus 1953 berkata “angkatan bersenjata tidak boleh ikut-ikut politik, tidak boleh diombang-ambingkan politik”. Begitu juga Jendral M.Yusuf dengan aksentuansi bugisnya berkata “Sehebat-hebat kau mau maju, itu urusan kamu, tapi kalau kau masih aktif, kau tinggalkan itu dagang supaya dapat menjadi tentara yang baik”.(Samego dan Indria:1998).
Syahdan, imbauan Soekarno dan M.Yusuf tetap sekedar imbaun. Aktivitas politik dan bisnis militer tetap jalan bahkan semakin menggurita. Konon kabarnya, konglomerat besar di negeri ini banyak dari kalangan kaum berseragam hijau.
Di lapangan agraria, kehadiran militer membuahkan konflik agraria lebih manifes. Penggunaan kekerasan dan pendekatan keamanan sering digunakan dari pada penyelesaian konflik secara persuasif. Di masa Soeharto, penggunaan kekerasan dan pendekatan keamanan ini untuk menaklukan rakyat dari penguaasaan tanah dan sumber daya alam.
Ada dua model keterlibatan militer dalam konflik agraria. Pertama, terlibat langsung berkonflik dengan rakyat seperti yang terjadi di Pasuruan. Kedua militer menjadi beking dari badan usaha swasta dan BUMN yang sedang berkonflik dengan rakyat.
Kejadian di Pasuruan hanya menambah daftar kekerasan militer dalam konflik agraria. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (1970-2001) menunjukkan keterlibatan militer terjadi 18 Propinsi dan melibatkan semua angkatan termasuk POLRI. Dari 1.753 sengketa/konflik agraria, sebanyak 59 kasus melibatkan militer.
Selain itu, keterlibatan militer dalam konflik agraria terjadi di semua sektor lapangan agraria. Baik di sektor kehutanan, pertambangan, perkebunan, pembangunan bendungan, bahkan sampai pada pembangunan perumahan dan sektor industri.
Bisnis Militer di Lapangan Agraria
Intensitas militer dalam konflik agraria erat kaitannya dengan aktivitas bisnis militer di lapangan agraria. Dimulai ketika militer ikut terlibat mengurus perkebunan ex Belanda yang di nasionalisasi.
Jendral AH.Nasution sebagai kepala angkatan perang RI memerintahkan wakil direktur perkebunan dijabat oleh Tentara yang ditunjuk olehnya. Sejak saat itulah militer, terutama angkatan darat terlibat aktif mengelola perkebunan dan pertambangan, dan tahun 1964 dan 1965 semakin gencar setelah perusahaan Inggris dan Amerika dalam pengawasan tentara.
Langgengnya bisnis militer di lapangan agraria seolah menjadi kesepakatan tak terulis antar petinggi militer dan pimpinan nasional. Ketidaksanggupan negara membiayai anggaran militer menjadi legitimasi serdadu berkebun sawit, yayasan milik ABRI berbisnis tambang, dan kaum berseraga coklat menjadi raja hutan. (Danang Widyoko,dkk)
Di samping sebagai pelaku bisnis di lapangan agraria, melalui doktrin dwi fungsi ABRI, militer ikut memberangus program pembaruan agraria populis masa Soekarno. Menyukseskan pembangunan kapitalisme di sektor agraria, seperti program revolusi hijau, eksploitasi hutan dan program agro industri. Belakangan, semua proram ini hanya menjadikan konflik agraria bersifat struktural.
Penyelesaian Konflik Agraria
Berkaca dari keterlibatan militer dalam konflik agraria sepanjang masa, maka penyelesaian konflik agraria menjadi bagian penting dari tuntutan reformasi TNI. Berbagai langkah yang harus dilakukan antara lain : Pertama, pemerintah menginventarisasi aset-aset militer yang menggunakan areal tanah yang begitu luas dan melanggar pasal (7) UUPA No.5/1960, Kedua, aset-aset militer yang peruntukannya untuk penguatan institusi militer seperti pusat latihan tempur, perumahan (home base) yang disengketakan dengan rakyat dilakukan proses mediasi secara adil dengan tetap berpegang pada UUPA No.5/1960 bahwa tanah untuk rakyat.
Ketiga, aset-aset militer yang diperoleh dengan cara merampas tanah rakyat hendaknya dikembalikan kepada rakyat. Keempat, menertibkan seluruh bisnis militer baik yang dikelola atas nama koperasi atau yayasan militer dan izin usahanya dicabut, dan tanahnya dijadikan objek landreform. Karena militer adalah bagian dari rakyat, maka mereka diidentifikasi sebagai subjek landreform.
Mengingat intensitas keterlibatan militer dalam konflik agraria cukup tinggi, maka pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang membatasi militer terlibat langsung dalam konflik agraria yang melibat rakyat versus badan usaha.
Tentu semua orang menginginkan angkatan bersenjata yang kuat dan tangguh, maka diperlukan tempat latihan dan anggaran operasional serta kesejahteraan prajurit. Agar tidak menimbulkan konflik, maka struktur penguasaan, peruntukan dan pemanfaatan tanah harus ditata ulang. Tentunya dengan mempertimbangkan areal lahan untuk kepentingan militer. Restrukturisasi ini hanya bisa dilakukan bila pemerintah melakukan Reforma Agraria.
No comments:
Post a Comment