Salah Kaprah Apresiasi Perjuangan Kartini

Oleh : Paramita Iswari


"Malulah aku terhadap keangkaraanku. Aku renungi dan pikirkan keadaanku sendiri, dan di luar sana begitu banyak derita dan kemelaratan melingkungi kami! Seketika itu juga seakan udara menggetar oleh rataptangis, erang dan rintih orang-orang di sekelilingku. Dan lebih keras daripada erang dan rintih itu, mendesing dan menderu di kupingku: Kerja! Kerja! Kerja! Perjuangkanlah kebebasanmu! Baru kemudian kalau kautelah bebaskan dirimu sendiri dengan kerja, dapatlah kau menolong yang lain-lain! Kerja! Kerja! Aku dengar itu begitu jelas, nampak tertulis di depan mataku...”.

Begitulah tulisan Kartini yang ditujukan kepada sahabatnya Ny. Abendanon yang kemudian dibukukan dalam Door Duisternis tot Licht : Gedachten Over en Voor Het Javaansche Volk van Raden Ajeng Kartini (diterbitkan oleh G.C.T. van Dorp & Co) dan diterjemahkan oleh Armijn Pane menjadi ”Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Dalam surat-surat yang ditujukan untuk sahabat-sahabatnya di Belanda tersebut, Kartini tidak hanya mengungkapkan keresahannya terhadap akses perempuan ke pendidikan, namun juga mengungkapkan keresahannya terhadap struktur kelas, feodalisme, praktek-praktek poligami bahkan pendefinisian perempuan sebagai ibu dan istri. Seperti kata Sulistiyowati Irianto, Kartini adalah seorang cendekia pada zamannya, karena pemikiran feminis sudah dia baca sejak usia sangat muda (Kompas, 16 April 2007). Dan pemikirannya inilah yang menjadi cikal bakal gerakan perempuan di Indonesia yang melawan ketertindasan perempuan.

Perayaan Hari Kartini
Namun, apa apresiasi terhadap perjuangan Kartini yang kita lihat setiap tanggal 21 April? Dalam satu hari ini pada setiap tahunnya, kita dicekoki perayaan hari kartini melalui anak-anak yang memakai baju daerah di sekolah-sekolah, lomba berbusana mirip kartini yang khas dengan kebaya, kain batik dan gelungnya, lomba memasak dan lainnya. Demikian pula media cetak maupun elektronik yang selalu menyajikan kisah-kisah perempuan yang terjun di dunia kerja yang didominasi laki-laki, seperti menjadi supir truk, tukang parkir, kondektur bis, tukang ojek, dan lain sebagainya.

Bahkan, dalam salah satu sajian khusus pada media elektronik di hari Kartini tepat satu tahun yang lalu, dimana beberapa perempuan Indonesia diberikan semacam penghargaan atas ’prestasi’nya, dinyatakan secara tegas bahwa sehebat apapun perempuan, setinggi apa pun pendidikan maupun jabatannya, tetap saja harus ingat ’kodrat’nya sebagai seorang perempuan yang merupakan pelayan laki-laki. Tentunya yang dimaksud kodrat disini bukan konsep mengenai kodrat perempuan yang seharusnya, yaitu menstruasi, melahirkan dan menyusui yang merupakan ketentuan biologis dari Tuhan dan tidak dapat berubah. Tetapi kodrat yang definisinya lahir sebagai konstruksi sosial yang pada akhirnya mengakibatkan marginalisasi terhadap perempuan, seperti memasak, mencuci, dan melayani laki-laki.

Berkaitan dengan hal tersebut, masih berbicara dalam konteks perjuangan Kartini, bukankah jauh lebih relevan dengan semangat Kartini, ketika disajikan cerita tentang seorang perempuan yang berhasil mengorganisir perempuan-perempuan desanya seperti di Ngata Toro – Sulawesi Tengah demi memecahkan permasalahan kekayaan alam yang notabene terletak di ruang publik. Atau cerita seorang ibu rumah tangga biasa yang berhasil menciptakan kesetaraan hubungan dengan suaminya dalam mengelola rumahtangganya. Atau cerita seorang guru taman kanak-kanak yang dalam kesehariannya secara tidak langsung mengajarkan kesetaraan gender kepada murid-muridnya. Rasanya ini lebih mencerminkan semangat perjuangan Kartini yang bertujuan melawan penindasan terhadap perempuan.

Tafsiran yang muncul
Berdasarkan apa yang dilihat setiap tahun inilah, maka penafsiran publik yang kemudian timbul terhadap perjuangan Kartini terbatas hanya pada tujuan agar perempuan bisa mendapatkan pendidikan dan melakukan pekerjaan laki-laki. Bahkan ditafsirkan bahwa perempuan ingin menjadi laki-laki.

Contoh konkrit dari timbulnya penafsiran tersebut, nampak jelas dalam pertemuan masyarakat adat beberapa waktu yang lalu. Dalam pertemuan tersebut, ada pertanyaan mendasar yang muncul dari salah seorang laki-laki mengenai apa sebenarnya tujuan dari gerakan perempuan sejak abad 19 ini. Pertanyaan tersebut adalah ”Apakah perempuan iri dan ingin menjadi laki-laki?”. Bahkan pertanyaan ini diikuti dengan saran beliau yaitu dengan berganti jenis kelamin untuk mencapai tujuan gerakan perempuan ini.

Apakah memang itu intisari dari perjuangan Kartini? Rasanya terlalu dangkal apabila cita-cita Kartini ditafsirkan seperti itu. Pergaulannya dengan feminis sosialis maupun kaum progresif di Belanda berikut dengan bacaan-bacaannya membuat Kartini menjadi seseorang perempuan yang progresif di masanya. Hal ini terbaca jelas dalam surat-suratnya.

Jadi sebenarnya sejauh mana bangsa kita mengenal Kartini? Dan apa gunanya kita memberikan apresiasi terhadap Kartini setiap tanggal 21 April? Mengutip Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu bukunya ”Panggil aku Kartini saja”, Kartini disebut-sebut di berbagai hari peringatan sebagai tokoh mitos, dimana gambaran orang tentangnya dengan sendirinya lantas menjadi palsu. Sehingga fenomena yang terjadi adalah bahwa apresiasi yang diberikan oleh bangsa ini terhadap Kartini menjadi salah kaprah. Padahal Kartini sebenarnya jauh lebih agung daripada mitos tentangnya itu sendiri. Dan ternyata mata kita selama ini tertutup, tertutup untuk melihat apa yang sebenarnya diusung oleh Kartini.

Perjuangan Kartini belum selesai
Melihat fenomena bahwa kekerasan terhadap perempuan meningkat dengan tajam, akses dan kontrol perempuan terhadap kekayaan alam semakin terbatas, keterwakilan perempuan dalam badan eksekutif dan legislatif minim, bahkan perempuan terpaksa dibelenggu atas nama pornografi dan pornoaksi yang dituangkan di atas kertas atas nama undang-undang. Maka, walaupun saat ini perempuan Indonesia sudah bisa mengenyam pendidikan sampai ke tingkat tertinggi dan dapat bekerja pada profesi yang didominasi laki-laki, namun jelas bahwa perjuangan Kartini belum selesai. Perjuangannya melawan penindasan terhadap perempuan masih harus menempuh jalan panjang.

No comments: