Kita Butuh Lembaga Khusus Penyelesaian Konflik Agraria

Sampai saat ini, belum jelas proses penyelesaian konflik agraria di Alas Tlogo yang menewaskan empat warga sipil dan tujuh orang terluka. Belajar dari kasus-kasus konflik agraria yang melibatkan Militer sebelumnya, proses penyelesaiannya selalu ke proses internal (pengadilan militer)

Nampaknya penanganan kasus Pasuruan ini akan terulang kembali. Padahal mayoritas masyarakat sipil menghendaki adanya pengadilan HAM dan atau paling tidak diadili di pengadilan di peradilan Umum.

Sisi lain, sengketa tanah yang menjadi pemicu kekerasan terhadap warga juga belum jelas mekanisme penyelesaiannya. TNI dalam dialog bersama 11 kepadala Desa yang difasilitasi oleh Pemda menawarkan relokasi, tetapi masyarakat tidak menerima. Masyarakat tetap mengingkan tanahnya dikembalikan.

Memahami Konflik Agraria
Kekusutan persoalan agraria kita, karena tidak terdapat instrumen penyelesaian konflik. Dulu, di masa soekarno kita punya pengadilan landreform, tetapi dihapuskan di masa Soerharto tahun 1970. Sejak saat itu seluruh konflik agraria dilarikan ke peradilan umum.

Peradilan umum tidak bisa menyelesaikan konflik agraria saat ini, bukan hanya perkara kewenangan dan kecakapan hakim, tetapi karakter konflik agraria kita yang berubah seiring dengan tidak dijalankannya reforma agraria.

Konflik agraria kita adalah konflik agraria struktural. Konflik agraria yang timbul karena kebijakan pemerintah. Yang berkonflik pun bukan antar rakyat dengan rakyat, tetapi rakyat versus pengusaha, rakyat versus pemerintah termasuk BUMN.

Umumnya konflik berawal dari proses “negarisasi” tanah-tanah rakyat yang sudah lama mendiami, lalu atas nama negara (Hak Menguasai Negara) meletakkan alas klaim atau hak pemanfaatan baru dan diberikan kepada badan-badan usaha swasta atau pemerintah. Jadi jelas sekali bahwa konflik agraria saat yang ada adalah warisan dari kebijakan masa lalu, tetapi tidak dirombak oleh pemerintah pasca reformasi.

Ciri lain dari konflik agraria struktural adalah penggunaan cara-cara penindasan dan penaklukan kepada rakyat. Penindasan ini bersifat fisik, seperti intimidasi, teror, kekerasan fisik, pembuldoseran tanah dan tanaman, penangkapan, isolasi, dsb. Sedang pola penaklukannya bersifat “ideologis” seperti delegitimasi bukti-bukti hak rakyat, penetapan ganti rgusi sepihak, manipulasi tanda-tangan rakyat, dicap sebagai PKI atau anti pembangunan,dsb.

Kita Butuh Lembaga Penyelesaian Konflik Agraria
Memahami karakter konflik agraria seperti di atas, maka proses-proses hukum yang selama ini digunakan untuk menyelesaikan konflik tidak memadai untuk menyelesaikannya. Dibutuhkan lembaga khsusu penyelesaian konflik agraria.

Karena pada dasarnya yang disebut dengan penyelesaian konflik agraria, bukan hanya pembuktian hukum formal dari tanah yang dikonflikkan. Melainkan pemenuhan rasa keadilan pada korban konflik agraria. Selama ini pihak rakyatlah yang selalu jadi korban konflik agraria.

Kenapa pemenuhan rasa keadilan ini yang didahulukan ? karena proses penggusuran tanah-tanah rakyat yang diikuti tindakan kekerasan seperti yang terjadi di Alas Tlogo dan berapa daerah lainnya di Indonesia kyat bukanlah insiden, melainkan sebagai akibat dari kebijakan yang dilahirkan di masa lalu.

Pemilikan tanah oleh TNI AL di pasuruan dalam pandangan hukum adalah sah, karena dia didasari atas alas hak yang bernama Hak Pakai yang diakui oleh UUPA No.5/1960. Tetapi yang perlu dicermati adalah bagaiaman proses lahirnya hak pakai tersebut. Belum lagi dalam faktanya bahwa di masa orde baru konsep Hak Menguasai Negara secara keblinger dimaknai dan dipraktikkan orde baru laiknya Domeinverklaring, bahwa negara pemilik tanah. Suatu konsepsi barat yang telah dikubur melalui UUPA No.5/1960.

Berbagai hal strategis yang bisa dicapai dari lembaga penyelesaian konflik agraria ini adalah : 1) memungkinkan rakyat mengadukan tanahnya yang dirampas pada masa lalu 2) menguatkan posisi rakyat dalam hal pemilikan tanah, 3) memungkinkan rakyat mendapatkan keadilan melalui pemulihan, penggantian terhadap kerugian dan hak-haknya yang dirampas oleh proses masa lalu, dan 4) memungkinkan satu terobosan hukum yang menjadi pintu masuk mendekontruksi atas sistem hukum yang tidak memenuhi rasa keadilan rakyat. (Kertas Posisi KPA No.10/2001).

Kenyataan konflik agraria yang sudah menelan banyak korban jiwa dan harta rakyat, hendaknya membuka mata hati dan pikiran semua orang untuk menyelesaikannya. Menggunakan instrumen hukum yang ada terbukti tidak memadai. Kita butuh Lembaga penyelesaian konflik agraria untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat.

1 comment:

Andi Sufiarma said...

saya bingung lembaga yang anda maksudkan seperti apa?Mungkin ini adalah satu bukti nyata ketidakpercayaan terhadap keberadaan Badan Pertanahan Nasional ya????