Tulisan Christianto Lopulisa di harian kita ini (Fajar,22 Juni 2005) yang bertajuk ”Revitalisasi Pertanian Sulsel;Mari Membangun PUSPATANI” menarik dicermati sekaitan dengan analisisnya terhada program Revitalisasi Pertanian Pemerintahan SBY-KALLA yang dicanangkan pada 11 Juni 2005 lalu di Jatiluhur. Dalam tulisannya Christianto menekankan bahwa program revitalisasi pertanian ini hanya bermakna bila pertanian beroirentasi dari pertanian subsistensi ke pertanian komersil berorientasi ekspor.
Argumentasi yang dibangun oleh Christianto dalam menguatkan tesisnya bahwa pertanian subsistensi tidak dapat lagi dipertahankan dalam era globalisasi, didasarkan pada asumsi bahwa pertanian tidak bisa lagi dilepaskan dengan mekanisme pasar, ketergantungan terhadap teknologi, modal dan intervensi manajemen yang tinggi. Artinya Christianto mau menunjukkan bahwa saat ini dunia pertanian secara khusus dan pedesaan secara umum telah memasuki apa yang disebut dengan liberalisasi pertanian, dan hanya pertanian komersil yang bisa beradaptasi.
Kenyataan di atas tentu tidak bisa disangkal dalam dunia pertanian kita saat ini, akan tetapi menurut penulis justru situasi inilah yang harus dicermati secara kritis. Benarkah pertanian komersil bisa menjamin perbaikan nasib petani ? bisa menyulap petani miskin menjadi petani kaya, dan dalam jangkah waktu tertentu petani bisa menikmati dana pensiun ?
Pertanian Komersial Tidak Untuk Liberalisasi Pertanian
Kritik pertama saya terhadap tulisan Christianto (Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada kepakaran beliau) adalah cara identifikasi persoalan. Melihat alternatif solusi yang ditawarkan, saya melihat adanya simplikasi atau penyederhanan persoalan dari kompleksitas pertanian kita saat ini. Yang luput dari cermatan beliau adalah kenyataan bahwa persoalan pertanian ini tidak hanya karena rendahnya produktivitas pertanian kita yang tidak bisa menembus perbaikan ekonomi rumah tangga petani, akan tetapi juga terkait dengan politik pembangunan Indonesia. Menurut penulis inilah pangkal dari semua persoalan pertanian di Indonesia.
Bagaimana itu bisa terjadi? tentu kita bisa lihat dari sejarah pembangunan pertanian di negara ini. Seperti yang sama kita ketahui bahwa pembangunan pedesaan (rural development) atau pembangunan pertanian (agriculture development) sejak dulu prosesnya dibangun dalam logika modernisasi. Ciri-cirinya adalah penanamam modal untuk peningkatan produktivitas, alih teknologi dari negara maju ke negara berkembang untuk kegiatan produksi dan jasa, proses munculnya negara-negara, dan politik serta ekonomi berskala besar, dan proses urbanisasi. (Gunawan Wiradi;2000)
Dari sini sebenarnya kita bisa melacak bagaimana pembangunan pertanian itu kemudian tidak lepas dari perpanjangan kolonialisme lewat jargon modernisasi. Artinya negara seperti Indonesia kalau mau maju maka harus bertransformasi menjadi negara industri. Itu pula sebabnya paradigma pembangunan (Developmentalisme) dengan senjata utamanya adalah pertumbuhan ekonomi menjadi prioritas utama pemerintah ORBA dan seluruh kekuatan politik dan ekonomi negara diarahkan untuk mendukung program tersebut. Jadi menurut saya bahwa disinilah awal dari kehancuran pertanian kita, karena meskipun pemerintah ORBA pada PELITA I memprioritaskan pada sektor pertanian, tatapi pertanian tersebut untuk mendukung pembangunan industri.
Berbagai upaya pun dilakukan oleh pemerintah ORBA untuk mendukung ambisinya untuk menjadi negara industri meskipun pemimpin negara saat itu menyadari bahwa Indonesia adalah negara agraris. Yang paling transparan adalah diizinkannya modal asing untuk masuk mendukung program pembangunan tersebut. Di sektor pertanian misalnya kita menemukan proyek revolusi hijau yang implikasinya dapat kita saksikan sekarang, dimana degradasi lingkungan pun terjadi yang berujung pada pemiskinan petani. Selain itu juga kita menyaksikan konflik agraria terjadi dimana-mana, dimana hal ini terjadi karena negara telah memfasilitasi perusahan-perusahan berskala internasional untuk berusaha di sektor pertanian melalui pemberian izin HGU dan HPH dan mengakibatkan banyak petani kehilangan tanah.
Sampai di sini saya ingin menegaskan kembali bahwa persoalan utama yang dihadapi oleh pembangunan pertanian kita adalah paradigma kapitalisme yang terlanjur dianut secara malu-malu oleh pemerintah ORBA dan tetap dilanjutkan sampai sekarang. Jadi kemiskinan yang terjadi pada petani bukan hanya karena teknologi pertanian kita terbelakang, kurangnya modal serta tidak adaya jaminan pasar bagi produk, akan tetapi adalah proses sistematik yang dilakukan oleh pemerintahan ORBA.
Di masa ORBA petani menjadi anak tiri, bahkan seperti yang dikemukakan oleh Pakpahan bahwa sektor pertanian peran utamanya hanyah membesarkan sektor lain untuk berkembang. Akibatnya adalah kemiskinan berkembang secara merata di pedesaan sebagai akibat dari perkembangan degeneratif dimana produktivitas perorangan mandek, atau yang disebut sebagai realitas involusi petani oleh Clifort Geertz (Hefner ;1999). Karenanya bagi penulis perbaikan nasib petani berkolborasi langsung dengan mengubah paradigma pembangunan yang kapitalistik.
Reforma Agraria Sebagai Landasan Revitalisasi Pertanian
Penulis kembali ingin mengingatkan bahwa program revitalisasi pertanian yang dicanangkan oleh pemerintahan SBY-KALLA pada tanggal 11 Juni 2005 di Jatiluhur, pada awalnya adalah bagian dari visi misi yang dibacakan pada saat kampanye pemilu presiden. Dan menurut penulis bahwa inilah perbedaan mendasar dari sekian kandidat presdien pada saat itu, karena komitmennya terhadap pedesaan dan pertanian yang telah lama dilupakan di negara kita.
Karenanya sikap yang terbaik dari kita, tidak hanya mendukung program tersebut akan tetapi memberikan masukan agar program tersebut tidak menjadi program karikatif (pemadam kebakaran) seperti yang banyak dilakukan pemerintah sebelumnya. Agar tidak sekedar menjadi tekad semata, maka program revitalisasi pertanian tersebut harus punya dasar dan visi yang jelas dan kuat. Dalam pengamatan penulis salah satu tawaran yang sering dimuat dalam media massa adalah bahwa program revitalisasi pertanian ini harus didasarkan pada reforma agraria (Kompas; juni 2005), dan dalam kesempatan ini saya ingin mengukuhkan kembali pendapat tersebut.
Argumentasi yang dibangun oleh Christianto dalam menguatkan tesisnya bahwa pertanian subsistensi tidak dapat lagi dipertahankan dalam era globalisasi, didasarkan pada asumsi bahwa pertanian tidak bisa lagi dilepaskan dengan mekanisme pasar, ketergantungan terhadap teknologi, modal dan intervensi manajemen yang tinggi. Artinya Christianto mau menunjukkan bahwa saat ini dunia pertanian secara khusus dan pedesaan secara umum telah memasuki apa yang disebut dengan liberalisasi pertanian, dan hanya pertanian komersil yang bisa beradaptasi.
Kenyataan di atas tentu tidak bisa disangkal dalam dunia pertanian kita saat ini, akan tetapi menurut penulis justru situasi inilah yang harus dicermati secara kritis. Benarkah pertanian komersil bisa menjamin perbaikan nasib petani ? bisa menyulap petani miskin menjadi petani kaya, dan dalam jangkah waktu tertentu petani bisa menikmati dana pensiun ?
Pertanian Komersial Tidak Untuk Liberalisasi Pertanian
Kritik pertama saya terhadap tulisan Christianto (Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada kepakaran beliau) adalah cara identifikasi persoalan. Melihat alternatif solusi yang ditawarkan, saya melihat adanya simplikasi atau penyederhanan persoalan dari kompleksitas pertanian kita saat ini. Yang luput dari cermatan beliau adalah kenyataan bahwa persoalan pertanian ini tidak hanya karena rendahnya produktivitas pertanian kita yang tidak bisa menembus perbaikan ekonomi rumah tangga petani, akan tetapi juga terkait dengan politik pembangunan Indonesia. Menurut penulis inilah pangkal dari semua persoalan pertanian di Indonesia.
Bagaimana itu bisa terjadi? tentu kita bisa lihat dari sejarah pembangunan pertanian di negara ini. Seperti yang sama kita ketahui bahwa pembangunan pedesaan (rural development) atau pembangunan pertanian (agriculture development) sejak dulu prosesnya dibangun dalam logika modernisasi. Ciri-cirinya adalah penanamam modal untuk peningkatan produktivitas, alih teknologi dari negara maju ke negara berkembang untuk kegiatan produksi dan jasa, proses munculnya negara-negara, dan politik serta ekonomi berskala besar, dan proses urbanisasi. (Gunawan Wiradi;2000)
Dari sini sebenarnya kita bisa melacak bagaimana pembangunan pertanian itu kemudian tidak lepas dari perpanjangan kolonialisme lewat jargon modernisasi. Artinya negara seperti Indonesia kalau mau maju maka harus bertransformasi menjadi negara industri. Itu pula sebabnya paradigma pembangunan (Developmentalisme) dengan senjata utamanya adalah pertumbuhan ekonomi menjadi prioritas utama pemerintah ORBA dan seluruh kekuatan politik dan ekonomi negara diarahkan untuk mendukung program tersebut. Jadi menurut saya bahwa disinilah awal dari kehancuran pertanian kita, karena meskipun pemerintah ORBA pada PELITA I memprioritaskan pada sektor pertanian, tatapi pertanian tersebut untuk mendukung pembangunan industri.
Berbagai upaya pun dilakukan oleh pemerintah ORBA untuk mendukung ambisinya untuk menjadi negara industri meskipun pemimpin negara saat itu menyadari bahwa Indonesia adalah negara agraris. Yang paling transparan adalah diizinkannya modal asing untuk masuk mendukung program pembangunan tersebut. Di sektor pertanian misalnya kita menemukan proyek revolusi hijau yang implikasinya dapat kita saksikan sekarang, dimana degradasi lingkungan pun terjadi yang berujung pada pemiskinan petani. Selain itu juga kita menyaksikan konflik agraria terjadi dimana-mana, dimana hal ini terjadi karena negara telah memfasilitasi perusahan-perusahan berskala internasional untuk berusaha di sektor pertanian melalui pemberian izin HGU dan HPH dan mengakibatkan banyak petani kehilangan tanah.
Sampai di sini saya ingin menegaskan kembali bahwa persoalan utama yang dihadapi oleh pembangunan pertanian kita adalah paradigma kapitalisme yang terlanjur dianut secara malu-malu oleh pemerintah ORBA dan tetap dilanjutkan sampai sekarang. Jadi kemiskinan yang terjadi pada petani bukan hanya karena teknologi pertanian kita terbelakang, kurangnya modal serta tidak adaya jaminan pasar bagi produk, akan tetapi adalah proses sistematik yang dilakukan oleh pemerintahan ORBA.
Di masa ORBA petani menjadi anak tiri, bahkan seperti yang dikemukakan oleh Pakpahan bahwa sektor pertanian peran utamanya hanyah membesarkan sektor lain untuk berkembang. Akibatnya adalah kemiskinan berkembang secara merata di pedesaan sebagai akibat dari perkembangan degeneratif dimana produktivitas perorangan mandek, atau yang disebut sebagai realitas involusi petani oleh Clifort Geertz (Hefner ;1999). Karenanya bagi penulis perbaikan nasib petani berkolborasi langsung dengan mengubah paradigma pembangunan yang kapitalistik.
Reforma Agraria Sebagai Landasan Revitalisasi Pertanian
Penulis kembali ingin mengingatkan bahwa program revitalisasi pertanian yang dicanangkan oleh pemerintahan SBY-KALLA pada tanggal 11 Juni 2005 di Jatiluhur, pada awalnya adalah bagian dari visi misi yang dibacakan pada saat kampanye pemilu presiden. Dan menurut penulis bahwa inilah perbedaan mendasar dari sekian kandidat presdien pada saat itu, karena komitmennya terhadap pedesaan dan pertanian yang telah lama dilupakan di negara kita.
Karenanya sikap yang terbaik dari kita, tidak hanya mendukung program tersebut akan tetapi memberikan masukan agar program tersebut tidak menjadi program karikatif (pemadam kebakaran) seperti yang banyak dilakukan pemerintah sebelumnya. Agar tidak sekedar menjadi tekad semata, maka program revitalisasi pertanian tersebut harus punya dasar dan visi yang jelas dan kuat. Dalam pengamatan penulis salah satu tawaran yang sering dimuat dalam media massa adalah bahwa program revitalisasi pertanian ini harus didasarkan pada reforma agraria (Kompas; juni 2005), dan dalam kesempatan ini saya ingin mengukuhkan kembali pendapat tersebut.
Mengapa penting program revitalisasi pertanian ini dilandaskan pada reforma agraria ? Pertama bahwa tingkat kemiskinan semakin meningkat baik secara kualitas maupun kuantitas. Sialnya karena kemiskinan itu umumnya secara merata terjadi dan menimpa masyarakat pedesaan khususnya petani. Sebagai ilustrasi adalah gambaran data BPS (2003), diaman rata-rata penguasaan lahan petani menurun dibandingkan tahun 1993, yaitu dari 0,5 ha menjadi 0,3 ha. Petani gurem meningkat 2,6 persen per tahun, yaitu dari 10,8 juta rumah tangga petani tahun 1993 menjadi 13,7 juta tahun 2003. Petani pangan (72 persen dari total petani Indonesia) diperkirakan hanya mampu memenuhi 30 persen dari kebutuhan keluarganya jika lahan yang diolahnya hanya satu ha (Wamti, 2003).
Kedua bahwa proses ke(pe)miskinan pada petani adalah proses panjang dari sejarah pembangunan di Indonesia. Intinya adalah terjadi distorsi pembangunan (distorted development) dimana strategi peningkatan pertumbuhan ekonomi tidak berhasil meningkatkan kesejahteraan petani. Distorsi ini terjadi karena distribusi sumber-sumber agraria tidak merata.
Karenanya pembangunan pertanian tidak semata-mata hanya meningkatkan pendapatan petani menjadi dua kali lipat atau sepuluh kali lipat. Peningkatan produktivitas pertanian tidak berarti secara otomatis akan menghilangkan kemiskinan. Pembangun pertanian berarti peningkatan kesejahteraan petani, dan ini hanya bisa dilakukan dengan melakukan perombakan secara fundamental terhadap struktur agraria, termasuk dalam hal ini adalah memastikan penguasaan atau hak atas tanah bagi petani dan masyarakat miskin di pedesaan, dan inilah relevansi dari reforma agraria yang dimaksud.
1 comment:
makasih.....
tulisan anda sangatlah berarti....
Post a Comment