Dua orang petani Kajang Bulukumba dinyatakan mati, enam orang terluka kena tembakan, ada yang tertembak di betis, telapak tangan sampai tembus, di lengan serta tertembak di bagian punggung pada peristiwa berdarah di desa Bonto Mangiring Kec.Bulukumpa Kab.Bulukumba, 21 juli 2003. Di peristiwa itu juga, sebanyak 20 orang petani dipenjarakan, bahkan sampai saat ini ratusan petani masih bersembunyi di hutan karama di wilayah kekuasaan Amma Toa Kajang karena trauma dan takut pasca tragedi.
Tragedi berdarah 21 juli 2003 di Bumi Butta Panrita di atas adalah salah satu potret konflik agraria di Indonesia yang membuahkan korban jiwa dan sampai saat ini tidak ada titik terang penyelesaiannya. Masyarakat Adat Kajang sendiri mengakui bahwa PT.Lonsum telah merampas tanah mereka dimulai sejak awal ia memulai usahanya di sektor perkebunan karet tahun 1919, dan upaya paksa untuk memilik tanah-tanah rakyat semakin gencar sejak ia memperoleh izin HGU tahun 1968 sampai 1998 dan perpanjangan HGU tahun 1998 sampai 2017. Artinya bahwa kalau konflik agraria ini tidak mendapatkan mekanisme penyelesaian yang dianggap oleh rakyat atau petani memenuhi rasa keadilannya, maka bisa dipastikan potret konflik agraria akan mengarah pada dual hal, pertama petani atau rakyat akan menempuh caranya sendiri dan yang kedua karena cara rakyat tersebut dianggap tidak sesuai denga hukum maka eskalasi kekerasan terhadap rakyat juga akan meningkat. Korban di pihak petani akan kita temukan di Negara yang penduduknya mayoritas petani ini.
Melacak akar Persoalan
Pada dasarnya ada banyak tampilan konflik agraria akan tetapi yang paling umum diawali ketika ditetapkannya suatu wilayah tertentu sebagai tanah Negara lalu pemanfaatannya diberikan kepada pihak lain oleh badan-badan pemerintah karena berdasarkan atas penetapan nya wilyayah tersebut sebagai tanah Negara, baik untuk usaha produksi maupun untuk konservasi.
Di sektor kehutanan misalnya ada sekitar 70% hutan diklaim sebagai hutan Negara berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1976. Begitu pun di sektor perkebunan, dan pertambangan semuanya didasari atas Hak Menguasai Negara yang kemudian dilandasi dengan aturan yang bersifat sektoral seperti UU pertambangan dan Perkebunan. Secara semangat UU tersebut memang dilahirkan untuk mempertegas dominasi penguasaan Negara terhadap tanah dan segala sumber daya alam di dalamnya yang dengan kewenangan tersebut sehingga Negara berhak untuk menentukan berbagai macam hak di atasnya, meskipun karena pemberian hak tersebut akan menyingkirkan dan memarginalkan masyarakat yang telah hidup berpuluh-puluh tahun di atasnya.
Hampir secara merata di kalangan intelektual dan aktivis sosial yang peduli pada persoalan sengketa agraria melihat bahwa salah satu penyebab meluasnya sengketa agraria adalah Hak Menguasai Negara (HMN) yang terinspirasi pada pasal 33 ayat (33) UUD 1945 dan diperkenalkan pertama kali oleh pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria. Mengapa HMN menjadi penyebab, berikut ditulis pada sebuah buku :
Tragedi berdarah 21 juli 2003 di Bumi Butta Panrita di atas adalah salah satu potret konflik agraria di Indonesia yang membuahkan korban jiwa dan sampai saat ini tidak ada titik terang penyelesaiannya. Masyarakat Adat Kajang sendiri mengakui bahwa PT.Lonsum telah merampas tanah mereka dimulai sejak awal ia memulai usahanya di sektor perkebunan karet tahun 1919, dan upaya paksa untuk memilik tanah-tanah rakyat semakin gencar sejak ia memperoleh izin HGU tahun 1968 sampai 1998 dan perpanjangan HGU tahun 1998 sampai 2017. Artinya bahwa kalau konflik agraria ini tidak mendapatkan mekanisme penyelesaian yang dianggap oleh rakyat atau petani memenuhi rasa keadilannya, maka bisa dipastikan potret konflik agraria akan mengarah pada dual hal, pertama petani atau rakyat akan menempuh caranya sendiri dan yang kedua karena cara rakyat tersebut dianggap tidak sesuai denga hukum maka eskalasi kekerasan terhadap rakyat juga akan meningkat. Korban di pihak petani akan kita temukan di Negara yang penduduknya mayoritas petani ini.
Melacak akar Persoalan
Pada dasarnya ada banyak tampilan konflik agraria akan tetapi yang paling umum diawali ketika ditetapkannya suatu wilayah tertentu sebagai tanah Negara lalu pemanfaatannya diberikan kepada pihak lain oleh badan-badan pemerintah karena berdasarkan atas penetapan nya wilyayah tersebut sebagai tanah Negara, baik untuk usaha produksi maupun untuk konservasi.
Di sektor kehutanan misalnya ada sekitar 70% hutan diklaim sebagai hutan Negara berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1976. Begitu pun di sektor perkebunan, dan pertambangan semuanya didasari atas Hak Menguasai Negara yang kemudian dilandasi dengan aturan yang bersifat sektoral seperti UU pertambangan dan Perkebunan. Secara semangat UU tersebut memang dilahirkan untuk mempertegas dominasi penguasaan Negara terhadap tanah dan segala sumber daya alam di dalamnya yang dengan kewenangan tersebut sehingga Negara berhak untuk menentukan berbagai macam hak di atasnya, meskipun karena pemberian hak tersebut akan menyingkirkan dan memarginalkan masyarakat yang telah hidup berpuluh-puluh tahun di atasnya.
Hampir secara merata di kalangan intelektual dan aktivis sosial yang peduli pada persoalan sengketa agraria melihat bahwa salah satu penyebab meluasnya sengketa agraria adalah Hak Menguasai Negara (HMN) yang terinspirasi pada pasal 33 ayat (33) UUD 1945 dan diperkenalkan pertama kali oleh pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria. Mengapa HMN menjadi penyebab, berikut ditulis pada sebuah buku :
"Pertama, tafsir terhadap HMN terlalu berlebihan. Kedua, pelaksanaan HMN kemudian dipercayakan kepada pemerintah sebagai salah satu komponen dari Negara. Oleh pemerintah kemudian mengoper pelaksanaan hak tersebut ke departemen sektoral. Jadi penyerahan dari Negara ke Pemerintah kemudian ke departemen sektoral merupakan bentuk pergeseran yang menjadikan implementasi HMN justru memproduksi hal-hal negate kepada rakyat, dan ketiga, tafsir dan implementasi HMN dilangsungkan di panggung politik rejim otoriter Orde Baru. (Rikardo Simarmata :2002)"
Kritik di atas menjadi sangat relevan bila kita menyaksikan betapa dari segi sebaran, jumlah, pihak-pihak yang terlibat konflik dan korban dari konflik agraria semakin meningkat persentasenya Oleh KPA menyebutkan bahwa dalam kurung waktu tahun 1970 sampai tahun 2000 terdapat 1.753 konflik agraria yang mencakup 10.892.203 hektar luas areal sengketa di 16 provinsi di seluruh Indonesia, data di atas itupun masih bersifat sementara.
Karenanya dapat disimpulkan bahwa konflik agraria pada dasarnya terjadi karena penggunaan dan atau penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki oleh pejabat publik dengan atau tanpa dasar hukum peraturan perundangan yang tidak berpihak kepada rakyat melainkan lebih condong berpihak kepada pemodal besar. Dan umumnya konflik agraria tersebut tidak mampu diselesaikan dengan memenuhi rasa keadilan bagi pihak korban, dan terjadi kebuntuan dalam penyelesaian konflik agraria, baik melalui mekanisme hukum dan peradilan umum maupun proses mediasi yang dilakukan DPR/DPRD dan Komnas HAM.
Pembaruan Agraria sebagai Jawaban
Konflik agraria di Indonesia juga bisa dilihat dari ketimpangan penguasaan tanah dan Sumber Daya Alam lainnya. Rupa buruk ketimpangan penguasaan agraria tersebut dapat kita saksikan di semua level struktur agraria, misalnya di sektor tanah pertanian dimana hasil survey BPS 1993 menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga pedesaan yang menguasai tanah kurang dari 1 Ha mencapai jumlah 84% (22.860.254 rumah tangga),sementara yang menguasai tanah di atas 1 Ha hanya 16% (4.421.746 rumah tangga) dengan proporsi tanah yang dikuasai sebesar 69%.
Begitu pun di sektor perkebunan dimana data menyebutkan bahwa sampai 1993 ditemukan sekitar 3.80 juta Ha dikuasai oleh perkebunan besar dalam hal ini 1206 BUMN, 709 swasta, 48 asing, 21 usaha patungan, 40 BUMD dan 21 koperasi. Dari data tersebut ditemukan bahwa setiap perusahaan rata-rata menguasai tanah 3.096.985 Ha. (Dianto Bachriadi). Demikian juga di sektor kehutanan, dimana ditemukan bahwa dengan cepat jumlah hutan yang terkena proyek meningkat dari 35.87 Ha tahun 1978 menjadi 53 juta Ha tahun 1988. Selain itu ditemukan bahwa jika tahun 1968 hanya ada 25 unit konsesi HPH, maka tahun 1990 telah menjadi 574 unit. Kenyataan di atas juga diiringi dengan tingkat defoestasi hutan yang meningkat yakni antara tahun 1982 hingga 1993, Indonesia kehilangan sekitar 2,4 juta Ha hutan tiap tahun.
Akibat lansung dari ketimpangan penguasaan tanah dan sumber daya alam lainnya adalah kemiskinan di tingkat rakyat karena runtuhnya basis produksi mereka. Bahkan perubahan kelembagaan di aras Negara melalui reformasi tidak sanggup memulihkan kondisi rakyat yang terlanjur terpuruk dalam gubangan kemiskinan. Hal inilah kemudian yang digambarkan oleh Sangkoyo bahwa masalah pokok yang tak terselesaikan dari proses reformasi adalah bagaimana mengawal proses-proses produksi dan konsumsi masyarakat untuk memenuhi syarat-syara sosial dan ekologis setempat.
Artinya bahwa konflik agraria sebagai warisan dari pemerintahan rezim otoriter ORBA telah membawa bekas yang begitu dalam hingga mengancam kesalamatan hidup rakyat banyak di Indonesia, yakni krisis keadilan, krisis alam dan krisis produktivitas. Krisis keadilan adalah terjadi ketimpangan yang sangat menjolok terhadap penguasaan tanah dan sumber daya agraria, sehingga dalam batas maksimal seorang petani tidak sanggup memenuhi sub-sistensinya sementara bagi badan-badan usaha milik pemerintah dan pemodal asing dengan mudahnya menguasai dan memanfaatkan tanah berikut sumber daya agaria yang terkandung di dalamnya yang sama sekali tidak bersangkut paut dengan pemenuhan kesejahteraan rakyat yang dirampas tanahnya.
Krisis alam adalah ketidaktersediaan layanan alam karena hancurnya daya dukung ekologi dan ekosistem makhluk hidup sebagai akibat dari proyek-proyek pembangunan. Krisis air sebagai akibat rusaknya sumber-sumber air, tanah longsor dan banjir karena kerusakan hutan, peracunan dan pemiskinan hara tanah karena produksi tani yang mementingkan jangka pendek atau hilangnya sumber-sumber hayati pesisir adalah contoh dari ketidaktersediaan layanan alam. Sedang krisis produktivitas rakyat adalah sulitnya mendapatkan manfaat atau merubah tanah dan sumber daya alam bernilai ekonomi bagi pemenuhan sub-sistensinya di satu sisi, sementara dengan mudahnya badan usaha raksasa mendapatkan atau merubah tanah dan sumber daya alam menjadi modal dalam sistem produksi yang sama sekali asing bari rakyat setempat. (Noer Fauzi, 2003).
Pertanyaannya kemudia adalah dapatkah Pembaruan Agraria menyelesaikan krisis-krisis di atas ? Jawabannya adalah “IYA”. Karena Pembaruan Agraria sendiri bertujuan untuk menciptakan keadilan atas penguasaan sumber-sumber agraria. Lebih luas dapat dimaknai bahwa Pembaruan Agraria adalah upaya perubahan atau perombakan sosial yang dilakukan secara sadar, guna mentransformasikan struktur agraria ke arah sistem agraria yang lebih sehat dan merata bagi pengembangan pertanian dan kesejahteraan masyarakat desa. Artinya bahwa pembaruan agraria juga merupakan upaya pembaruan sosial. Hanya dengan merombak dan menata kembali bangunan struktur agraria ke arah struktur agraria yang lebih merata dan lebih adil, Indonesia dapat keluar dari tiga krisis di atas, dan harus diingat bahwa tidak satupun Negara di dunia ini yang sukses membangun ekonomi negaranya tanpa didahului dengan program Pembaruan Agraria, baik di Negara kapitalistik, sosialis atau negara Islam seperti Mesir dan IRAN.
Kritik di atas menjadi sangat relevan bila kita menyaksikan betapa dari segi sebaran, jumlah, pihak-pihak yang terlibat konflik dan korban dari konflik agraria semakin meningkat persentasenya Oleh KPA menyebutkan bahwa dalam kurung waktu tahun 1970 sampai tahun 2000 terdapat 1.753 konflik agraria yang mencakup 10.892.203 hektar luas areal sengketa di 16 provinsi di seluruh Indonesia, data di atas itupun masih bersifat sementara.
Karenanya dapat disimpulkan bahwa konflik agraria pada dasarnya terjadi karena penggunaan dan atau penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki oleh pejabat publik dengan atau tanpa dasar hukum peraturan perundangan yang tidak berpihak kepada rakyat melainkan lebih condong berpihak kepada pemodal besar. Dan umumnya konflik agraria tersebut tidak mampu diselesaikan dengan memenuhi rasa keadilan bagi pihak korban, dan terjadi kebuntuan dalam penyelesaian konflik agraria, baik melalui mekanisme hukum dan peradilan umum maupun proses mediasi yang dilakukan DPR/DPRD dan Komnas HAM.
Pembaruan Agraria sebagai Jawaban
Konflik agraria di Indonesia juga bisa dilihat dari ketimpangan penguasaan tanah dan Sumber Daya Alam lainnya. Rupa buruk ketimpangan penguasaan agraria tersebut dapat kita saksikan di semua level struktur agraria, misalnya di sektor tanah pertanian dimana hasil survey BPS 1993 menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga pedesaan yang menguasai tanah kurang dari 1 Ha mencapai jumlah 84% (22.860.254 rumah tangga),sementara yang menguasai tanah di atas 1 Ha hanya 16% (4.421.746 rumah tangga) dengan proporsi tanah yang dikuasai sebesar 69%.
Begitu pun di sektor perkebunan dimana data menyebutkan bahwa sampai 1993 ditemukan sekitar 3.80 juta Ha dikuasai oleh perkebunan besar dalam hal ini 1206 BUMN, 709 swasta, 48 asing, 21 usaha patungan, 40 BUMD dan 21 koperasi. Dari data tersebut ditemukan bahwa setiap perusahaan rata-rata menguasai tanah 3.096.985 Ha. (Dianto Bachriadi). Demikian juga di sektor kehutanan, dimana ditemukan bahwa dengan cepat jumlah hutan yang terkena proyek meningkat dari 35.87 Ha tahun 1978 menjadi 53 juta Ha tahun 1988. Selain itu ditemukan bahwa jika tahun 1968 hanya ada 25 unit konsesi HPH, maka tahun 1990 telah menjadi 574 unit. Kenyataan di atas juga diiringi dengan tingkat defoestasi hutan yang meningkat yakni antara tahun 1982 hingga 1993, Indonesia kehilangan sekitar 2,4 juta Ha hutan tiap tahun.
Akibat lansung dari ketimpangan penguasaan tanah dan sumber daya alam lainnya adalah kemiskinan di tingkat rakyat karena runtuhnya basis produksi mereka. Bahkan perubahan kelembagaan di aras Negara melalui reformasi tidak sanggup memulihkan kondisi rakyat yang terlanjur terpuruk dalam gubangan kemiskinan. Hal inilah kemudian yang digambarkan oleh Sangkoyo bahwa masalah pokok yang tak terselesaikan dari proses reformasi adalah bagaimana mengawal proses-proses produksi dan konsumsi masyarakat untuk memenuhi syarat-syara sosial dan ekologis setempat.
Artinya bahwa konflik agraria sebagai warisan dari pemerintahan rezim otoriter ORBA telah membawa bekas yang begitu dalam hingga mengancam kesalamatan hidup rakyat banyak di Indonesia, yakni krisis keadilan, krisis alam dan krisis produktivitas. Krisis keadilan adalah terjadi ketimpangan yang sangat menjolok terhadap penguasaan tanah dan sumber daya agraria, sehingga dalam batas maksimal seorang petani tidak sanggup memenuhi sub-sistensinya sementara bagi badan-badan usaha milik pemerintah dan pemodal asing dengan mudahnya menguasai dan memanfaatkan tanah berikut sumber daya agaria yang terkandung di dalamnya yang sama sekali tidak bersangkut paut dengan pemenuhan kesejahteraan rakyat yang dirampas tanahnya.
Krisis alam adalah ketidaktersediaan layanan alam karena hancurnya daya dukung ekologi dan ekosistem makhluk hidup sebagai akibat dari proyek-proyek pembangunan. Krisis air sebagai akibat rusaknya sumber-sumber air, tanah longsor dan banjir karena kerusakan hutan, peracunan dan pemiskinan hara tanah karena produksi tani yang mementingkan jangka pendek atau hilangnya sumber-sumber hayati pesisir adalah contoh dari ketidaktersediaan layanan alam. Sedang krisis produktivitas rakyat adalah sulitnya mendapatkan manfaat atau merubah tanah dan sumber daya alam bernilai ekonomi bagi pemenuhan sub-sistensinya di satu sisi, sementara dengan mudahnya badan usaha raksasa mendapatkan atau merubah tanah dan sumber daya alam menjadi modal dalam sistem produksi yang sama sekali asing bari rakyat setempat. (Noer Fauzi, 2003).
Pertanyaannya kemudia adalah dapatkah Pembaruan Agraria menyelesaikan krisis-krisis di atas ? Jawabannya adalah “IYA”. Karena Pembaruan Agraria sendiri bertujuan untuk menciptakan keadilan atas penguasaan sumber-sumber agraria. Lebih luas dapat dimaknai bahwa Pembaruan Agraria adalah upaya perubahan atau perombakan sosial yang dilakukan secara sadar, guna mentransformasikan struktur agraria ke arah sistem agraria yang lebih sehat dan merata bagi pengembangan pertanian dan kesejahteraan masyarakat desa. Artinya bahwa pembaruan agraria juga merupakan upaya pembaruan sosial. Hanya dengan merombak dan menata kembali bangunan struktur agraria ke arah struktur agraria yang lebih merata dan lebih adil, Indonesia dapat keluar dari tiga krisis di atas, dan harus diingat bahwa tidak satupun Negara di dunia ini yang sukses membangun ekonomi negaranya tanpa didahului dengan program Pembaruan Agraria, baik di Negara kapitalistik, sosialis atau negara Islam seperti Mesir dan IRAN.
No comments:
Post a Comment