Tanggal 3 Mei 2005 lalu oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani Pepres No.36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Ada dua hal pokok yang menjadi konsideran mengapa Pepres ini lahir, Pertama untuk mengantisipasi kebutuhan tanah yang cepat dan transparan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, dan kedua bahwa Kepres 55 tahun 1993 yang mengatur soal pengadaan tanah untuk kepentingan umum sudah tidak sesuai dengan landasan hukum yang berlaku sehingga perlu disempurnakan. Andai saja niat baik dari lahirnya Pepres 36/2005 adalah benar-benar untuk meyempurnakan Kepres 55/1993, maka makna penyempurnaan disini adalah untuk mencapai tujuan yang lebih baik dari yang sebelumnya, artinya secara yuridis Pepres ini harus lebih menjamin keadilan dan kepastian hukum terhadap pihak yang terkait.
Lalu bagaimana wujud asli dari Pepres 36/2005 ini? benarkah ia lahir dari pandangan filosofi hukum yang lebih mengutamakan aspek kepastian hukum dan keadilan yang seharusnya diberikan kepada segenap lapisan masyarakat tanpa pandang bulu, atau justru sebaliknya bahwa Pepres ini sekedar untuk menjamin supaya proyek pembangunan tersebut tidak terhambat hanya karena persoalan pengadaan tanah ?
Materi Pepres Lebih Refresif
Secara subtansi materi Pepres 36/2005 tidak jauh beda dengan Kepres 55/1993, bahkan lebih refresif. Padahal di masa pemerintahan Soeharto, Kepres 55/1993 digunakan untuk menggusur tanah-tanah rakyat. Karena dimaksudkan sebagai penyempurnaan dari Kepres, maka penting kiranya Pepres ini dikritisi agar tidak melahirkan konflik agraria nantinya. Dalam Pepres ini terdapat beberapa istilah dan pasal yang menurut penulis yang sangat jauh dari filosofi hukum yang mengutamakan aspek kepastian hukum dan keadilan, antara lain dapat dilihat yakni :
Pertama, Istilah ”kepentingan umum”. Dalam Pepres ini tidak ada batasan makna dari kepentingan umum kecuali disebutkan sebagai kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat. Sedang Kepres 55/1993 menegaskan kriteria kepentigan umum yakni ; Pembangunan dilakukan oleh pemerintah, dimiliki oleh pemerintah dan tidak untuk mencari keuntungan. Tidak adanya pembatasan kepentingan umum dalam Pepres ini, menimbulkan beberapa kemungkinan dan bahaya dalam pemberlakuan Pepres, misalnya kemungkinan pihak swasta terlibat dalam proses pembangunan atas fasilitasi pemerintah dengan alasan profesionalisme. Sebagai contoh bahwa banyak pembangunan yang masuk dalam kategori kepentingan umum seperti Pasar, Jalan tol dan DAM yang ditenderkan kepada pihak swasta.
Kedua, dalam Kepres 55/1993 pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum dilakukan oleh pemerintah hanya dengan dua cara yakni pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Sedang dalam Pepres ini, pengadaan tanah oleh pemerintah menjadi tiga cara yakni ditambah dengan cara Pencabutan hak atas tanah (pasal 2 ayat 1B). Ironisnya karena dalam pepres ini, juga terdapat pasal yang menyebutkan bahwa bila pembangunan itu tidak bisa dipindahkan maka proses musyawarahnya hanya 90 hari, dan bahwa bila tidak ada kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi, maka ganti rugi akan dititipkan pada pengadilan (pasal 10 ayat 1 dan 2). Di sinilah tercermin watak asli dari Pepres ini yakni otoriter, refresif dan sama sekali tidak ada penghormatan hak-hak sah seseorang atas tanah. Padahal harus diingat bahwa jaminan hak ekonomi seseorang atas tanah dijamin dalam UUD 1945 (Perubahan Kedua) dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, pasal 28 H ayat 4.
Ketiga, dalam hal ganti rugi, Pepres menyebutkan ganti rugi fisik dan non-fisik, sementara Kepres tidak menyebutkan ganti rugi non-fisik. Akan tetapi Pepres tidak menjabarkan bentuk ganti rugi non-fisik. Padahal penjabaran bentuk ganti rugi non-fisik itu penting. Karena penghilangan hak seseorang atas tanah berarti juga menghilangkan sumber penghidupan dan berdampak pada penurunan kesejahteraan hidup, maka alternatif ganti rugi harus menjawab konsekuensi dari hilangnya sumber penghidupan seseorang.
Keempat, dalam Pepres ini tidak mengatur panitia pengadaan tanah, sedang dalam Kepres lembaga ini dicantumkan (Pasal 7). Belajar pengalaman masa lalu, meskipun Kepres tidak menyebutkan institusi militer sebagai panitia pengadaan tanah, tetapi dalam banyak kasus institusi militerlah yang menjadi ujung tombak dalam pembebasan tanah. Oleh karena Pepres tidak menyebut secara tegas lembaga pengadaan tanah ini, maka sangat memungkinkan insitusi militer ini kembali digunakan untuk memaksakan pengadaan tanah (security approach).
Kelima, dalam pasal 4 disebutkan bahwa pengadaan tanah yang diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan bila berdasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Pertanyaannya adalah sejauhmana publik dapat mengakses dan menentukan isi RTRW sendiri ? Selain itu, bahwa proses penyusunan RTRW umumnya dikerjakan oleh Konsultan atau dengan kata lain ditenderkan. Kasarnya adalah bahwa pembangunan untuk kepentingan umum yang tercantum dalam RTRW sudah pasti tidak memasukkan ruang kelola rakyat. Ruang kemudian secara politik ditentukan oleh pemerintah secara sepihak.
Ironisnya adalah karena seringkali pembangunan untuk kepentingan umum yang ditunjuk dalam RTRW sangat berlawanan dengan rasa keadilan masyarakat. Sebagai contoh adalah pembangunan Bandara Hasanuddin yang sampai saat ini masih bermasalah soal ganti rugi lahan, atau pembangunan jalan lingkar di Makassar yang juga masih banyak warga yang tidak menerima penetapan ganti rugi lahan, maka dengan Pepres 36/2005 ini dapat dipastikan bahwa rakyat yang tanahnya terkena proyek, sulit untuk melakukan negosiasi agar harga tanahnya sesuai dengan keinginannya. Karena kalau mereka tidak sepakat, maka pemerintah dapat menitip uang ganti rugi ke pengadilan.
Perlu Payung Hukum
Saat ini konflik agraria menempati persentase tertinggi dari sekian konflik sosial di negara kita. Termasuk konflik agraria yang disebabkan pembangunan untuk kepentingan umum. Karenanya pengaturan soal pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum tetap diperlukan. Hanya saja pengaturannya harus diatur dalam kebijakan setingkat Undang-Undang, bukan dengan peraturan pemerintah.
Mengapa harus undang-undang? karena pengadaan tanah untuk pembanguan bagi kepentingan umum menurut penulis bukan persoalan teknis yang hanya cukup diatur oleh Pepres. Tetapi persoalan pengadaan tanah ini adalah persoalan hidup dan penghidupan umat manusia. Pemerintah tidak boleh berpikir taktis semata, hanya karena pembangunan harus jalan, maka pengaturan soal pengadaan tanahnya harus cepat dan tidak rumit. Pembangunan tetap penting akan tetapi jaminan hak atas tanah bagi setiap orang, khususnya rakyat kecil harus dipastikan. Kalau tidak, maka negara atas nama hukum dapat dengan semena-mena melanggar hak sosial, ekonomi, dan budaya rakyatnya.
Pembangunan pasti berpijak di atas sebidang tanah. Sedang hampir dipastikan bahwa tidak ada tanah di negara ini yang tidak bertuan, maka seperti yang disinyalir oleh Maria SW Sumardjono, guru besar hukum agraria UGM (Kompas 29/4/2005) pengadaan tanah untuk pembangunan harus ditopang oleh Undang-Undang. Undang-undang ini harus mampu menerjemahkan prinsip keadilan, kesetaraan, keterbukaan, kemanfaatan, keikutsertaan dan keperihakan pada korban, serta minimalisasi dampak sosial, ekonomi dan penurunan kesejahteraan pihak yang terkait.
Terakhir bahwa sejumlah persoalan yang terkandung dalam Pepres 36/2005 ini berpotensi melahirkan konflik agraria baru, khususnya penggusuran terhadap tanah-tanah rakyat. Cukuplah Kepres 55/1993 menjadi pengalaman pahit, dimana sejak diberlakukan telah menimbulkan penggusuran paksa sebanyak 1148 kasus di seluruh Indonesia.
Lalu bagaimana wujud asli dari Pepres 36/2005 ini? benarkah ia lahir dari pandangan filosofi hukum yang lebih mengutamakan aspek kepastian hukum dan keadilan yang seharusnya diberikan kepada segenap lapisan masyarakat tanpa pandang bulu, atau justru sebaliknya bahwa Pepres ini sekedar untuk menjamin supaya proyek pembangunan tersebut tidak terhambat hanya karena persoalan pengadaan tanah ?
Materi Pepres Lebih Refresif
Secara subtansi materi Pepres 36/2005 tidak jauh beda dengan Kepres 55/1993, bahkan lebih refresif. Padahal di masa pemerintahan Soeharto, Kepres 55/1993 digunakan untuk menggusur tanah-tanah rakyat. Karena dimaksudkan sebagai penyempurnaan dari Kepres, maka penting kiranya Pepres ini dikritisi agar tidak melahirkan konflik agraria nantinya. Dalam Pepres ini terdapat beberapa istilah dan pasal yang menurut penulis yang sangat jauh dari filosofi hukum yang mengutamakan aspek kepastian hukum dan keadilan, antara lain dapat dilihat yakni :
Pertama, Istilah ”kepentingan umum”. Dalam Pepres ini tidak ada batasan makna dari kepentingan umum kecuali disebutkan sebagai kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat. Sedang Kepres 55/1993 menegaskan kriteria kepentigan umum yakni ; Pembangunan dilakukan oleh pemerintah, dimiliki oleh pemerintah dan tidak untuk mencari keuntungan. Tidak adanya pembatasan kepentingan umum dalam Pepres ini, menimbulkan beberapa kemungkinan dan bahaya dalam pemberlakuan Pepres, misalnya kemungkinan pihak swasta terlibat dalam proses pembangunan atas fasilitasi pemerintah dengan alasan profesionalisme. Sebagai contoh bahwa banyak pembangunan yang masuk dalam kategori kepentingan umum seperti Pasar, Jalan tol dan DAM yang ditenderkan kepada pihak swasta.
Kedua, dalam Kepres 55/1993 pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum dilakukan oleh pemerintah hanya dengan dua cara yakni pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Sedang dalam Pepres ini, pengadaan tanah oleh pemerintah menjadi tiga cara yakni ditambah dengan cara Pencabutan hak atas tanah (pasal 2 ayat 1B). Ironisnya karena dalam pepres ini, juga terdapat pasal yang menyebutkan bahwa bila pembangunan itu tidak bisa dipindahkan maka proses musyawarahnya hanya 90 hari, dan bahwa bila tidak ada kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi, maka ganti rugi akan dititipkan pada pengadilan (pasal 10 ayat 1 dan 2). Di sinilah tercermin watak asli dari Pepres ini yakni otoriter, refresif dan sama sekali tidak ada penghormatan hak-hak sah seseorang atas tanah. Padahal harus diingat bahwa jaminan hak ekonomi seseorang atas tanah dijamin dalam UUD 1945 (Perubahan Kedua) dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, pasal 28 H ayat 4.
Ketiga, dalam hal ganti rugi, Pepres menyebutkan ganti rugi fisik dan non-fisik, sementara Kepres tidak menyebutkan ganti rugi non-fisik. Akan tetapi Pepres tidak menjabarkan bentuk ganti rugi non-fisik. Padahal penjabaran bentuk ganti rugi non-fisik itu penting. Karena penghilangan hak seseorang atas tanah berarti juga menghilangkan sumber penghidupan dan berdampak pada penurunan kesejahteraan hidup, maka alternatif ganti rugi harus menjawab konsekuensi dari hilangnya sumber penghidupan seseorang.
Keempat, dalam Pepres ini tidak mengatur panitia pengadaan tanah, sedang dalam Kepres lembaga ini dicantumkan (Pasal 7). Belajar pengalaman masa lalu, meskipun Kepres tidak menyebutkan institusi militer sebagai panitia pengadaan tanah, tetapi dalam banyak kasus institusi militerlah yang menjadi ujung tombak dalam pembebasan tanah. Oleh karena Pepres tidak menyebut secara tegas lembaga pengadaan tanah ini, maka sangat memungkinkan insitusi militer ini kembali digunakan untuk memaksakan pengadaan tanah (security approach).
Kelima, dalam pasal 4 disebutkan bahwa pengadaan tanah yang diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan bila berdasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Pertanyaannya adalah sejauhmana publik dapat mengakses dan menentukan isi RTRW sendiri ? Selain itu, bahwa proses penyusunan RTRW umumnya dikerjakan oleh Konsultan atau dengan kata lain ditenderkan. Kasarnya adalah bahwa pembangunan untuk kepentingan umum yang tercantum dalam RTRW sudah pasti tidak memasukkan ruang kelola rakyat. Ruang kemudian secara politik ditentukan oleh pemerintah secara sepihak.
Ironisnya adalah karena seringkali pembangunan untuk kepentingan umum yang ditunjuk dalam RTRW sangat berlawanan dengan rasa keadilan masyarakat. Sebagai contoh adalah pembangunan Bandara Hasanuddin yang sampai saat ini masih bermasalah soal ganti rugi lahan, atau pembangunan jalan lingkar di Makassar yang juga masih banyak warga yang tidak menerima penetapan ganti rugi lahan, maka dengan Pepres 36/2005 ini dapat dipastikan bahwa rakyat yang tanahnya terkena proyek, sulit untuk melakukan negosiasi agar harga tanahnya sesuai dengan keinginannya. Karena kalau mereka tidak sepakat, maka pemerintah dapat menitip uang ganti rugi ke pengadilan.
Perlu Payung Hukum
Saat ini konflik agraria menempati persentase tertinggi dari sekian konflik sosial di negara kita. Termasuk konflik agraria yang disebabkan pembangunan untuk kepentingan umum. Karenanya pengaturan soal pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum tetap diperlukan. Hanya saja pengaturannya harus diatur dalam kebijakan setingkat Undang-Undang, bukan dengan peraturan pemerintah.
Mengapa harus undang-undang? karena pengadaan tanah untuk pembanguan bagi kepentingan umum menurut penulis bukan persoalan teknis yang hanya cukup diatur oleh Pepres. Tetapi persoalan pengadaan tanah ini adalah persoalan hidup dan penghidupan umat manusia. Pemerintah tidak boleh berpikir taktis semata, hanya karena pembangunan harus jalan, maka pengaturan soal pengadaan tanahnya harus cepat dan tidak rumit. Pembangunan tetap penting akan tetapi jaminan hak atas tanah bagi setiap orang, khususnya rakyat kecil harus dipastikan. Kalau tidak, maka negara atas nama hukum dapat dengan semena-mena melanggar hak sosial, ekonomi, dan budaya rakyatnya.
Pembangunan pasti berpijak di atas sebidang tanah. Sedang hampir dipastikan bahwa tidak ada tanah di negara ini yang tidak bertuan, maka seperti yang disinyalir oleh Maria SW Sumardjono, guru besar hukum agraria UGM (Kompas 29/4/2005) pengadaan tanah untuk pembangunan harus ditopang oleh Undang-Undang. Undang-undang ini harus mampu menerjemahkan prinsip keadilan, kesetaraan, keterbukaan, kemanfaatan, keikutsertaan dan keperihakan pada korban, serta minimalisasi dampak sosial, ekonomi dan penurunan kesejahteraan pihak yang terkait.
Terakhir bahwa sejumlah persoalan yang terkandung dalam Pepres 36/2005 ini berpotensi melahirkan konflik agraria baru, khususnya penggusuran terhadap tanah-tanah rakyat. Cukuplah Kepres 55/1993 menjadi pengalaman pahit, dimana sejak diberlakukan telah menimbulkan penggusuran paksa sebanyak 1148 kasus di seluruh Indonesia.
No comments:
Post a Comment