Mitos Swasembada Beras

Beras langka di pasaran membuat harganya mencapai 6000 rupiah/kg bahkan di sebagian daerah mencapai 7.000 rupiah/kg. Operasi pasar yang dilakukan oleh BULOG tidak mampu mengstabilkan harga, akhirnya pemerintah kembali ke jurus lamanya yakni impor beras sebanyak 500.000 ton.

Kelangkaan beras sangat terkait dengan produktivitas. Tahun 1979, FAO telah mengeluarkan analisis bahwa untuk menjamin ketersediaan beras hingga tahun 2000, maka setiap Negara harus memproduksi 35dt/ha beras atau sekitar 200 juta ton. Pada saat itu Indonesia masih termasuk kategori Negara yang produksi berasnya kurang dari 35dt/ha. Korea utara, Korea Selatan dan RRC produksi berasnya sudah mencapai 45dt/Ha.

Untuk meningkatkan produktivitas biasanya dilakukan dua cara. Pertama, perluasan lahan pertanian dan Kedua intensifikasi atau peningkatan hasil panen per satuan luas lahan. Tapi Hasil penelitian FAO tahun 1970 menunjukkan, hanya 13 persen peningkatan produksi dari perluasan lahan, dan 87 persen peningkatan produksi dari cara intensifikasi.

Swasembada beras pada era pemerintahan Soeharto adalah perpaduan dari perluasan lahan budi daya melalui transmigrasi dan intensifikasi atau yang lebih populer dengan sebutan revolusi hijau. Keberhasilan revolusi hijau untuk meningkatkan produksi beras tidak diragukan lagi, khsususnya di Jawa petani dapat menghasilkan dua kali lipat dibandingkan pada masa akhir 1960-an.

Mengapa swasembada beras dapat dicapai di masa pemerintahan Soeharto dan sulit terwujud untuk saat ini ? Sejak awal, swasembada beras selalu menjadi tujuan pemerintah Indonesia. Pada awal tahun 60-an masa pemerintahan Soekarno, setiap tahun mengimpor beras sebanyak sejuta ton secara teratur untuk menghindari kelaparan dan menenangkan orang kota. (Patrice Levang ; 2003).

Di masa pemerintahan orde baru, seluruh kebijakan pertanian Soeharto berorientasi untuk swasembada beras. Revolusi Hijau yang diawali dengan penemuan mutakhir di bidang agronomi yang mengenalkan varietas padi bersiklus pendek dengan hasil tinggi menjadi faktor pendukung keberhasilan program swasembada beras pemerintah orde baru.

Program revolusi hijau adalah proyek ambisius pemerintah orde baru yang memerlukan dukungan biaya yang cukup tinggi. Biaya tidak hanya untuk varietas padi, tetapi juga meliputi rekrutmen dan pelatihan penyuluh pertanian, subsidi sarana produksi, perbaikan infrastukrtur dan stabilisasi pasar.

Keberhasilan revolusi hijau karena didukung oleh anggaran pembangunan Negara. Anggaran didapat dari pendapatan Negara berasal dari surplus harga minyak dunia yang melonjak pada tahun 1973 dan tahun 1980. Selain itu, revolusi hijau juga mendapat suntikan dana hibah dan pinjaman internasional yang disalurkan melalui IGGI. (Noer Fauzi; 1993).

Dapat dikatakan bahwa keberhasilan revolusi hijau karena dukungan input dari luar. Seiring dengan kritik terhadap program revolusi hijau, dukungan untuk sektor pertanian semakin minim dengan posisi Indonesia tidak lagi sebagai pengimpor minyak di dunia dan investasi sudah tidak melirik pada persoalan pangan. Inilah yang menjadi penyebab swasembada beras tidak bisa dicapai saat ini.

Saat ini kita tengah menyaksikan perubahan struktur sosial kemasyarakatan yang cukup drastis. Tetapi pemerintah masih mewarisi kebijakan pertanian orde baru. Jumlah orang meninggalkan pertanian tiap tahun meningkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 25% tenaga kerja pertanian adalah tenaga kerja lanjut usia, sementara pemuda desa banyak mencari kerja di kota sebagai buruh murahan. Di sisi lain bahwa konversi lahan pertanian ke non pertanian terus meningkat setiap tahunnya.

Disini pemerintah ditantang untuk mengeluarkan kebijakan baru berkaitan dengan pertanian untuk kedaulatan pangan, bukan swasembada beras. Menuju swasembada besar saat ini hanyalah mitos, karena pemicu untuk produktivitas beras sepeti lahan, bibit dan tenaga kerja sulit dikendalikan dan dikontrol oleh Negara secara penuh.

Bibit sudah dimiliki swasta bukan petani, tenaga kerja pertanian tidak diminati lagi karena tidak menghasilkan surplus, sementara lahan banyak digunakan untuk kepetingan industri. Di kota menjadi perumahan dan pabrik sedang di desa menjadi agroindustri seperti perkebunan dan HTI.

Kedaulatan pangan harus jadi komitmen pemerintah. Kedaulatan pangan hanya dicapai bisa dicapai dengan memasukkan penguasaan dan pemilikan tanah bagi petani sebagai faktor produksi. Kegagalan orde baru, karena hanya mengenalkan dan memperluas teknologi baru dan terknik bertani baru untuk peningkatan produksi beras tanpa merubah bangunan sosial pedesaan.

Perubahan bangunan sosial pedesaan diperlukan karena struktur penguasaan tanah pertanian timpang. Ketimpangan akan tercapai bila pemerintah mau menjalan program land reform. Kepemilikan tanah pada petani juga akan memicu lahirnya daya beli pada petani dan peningkatan nilai tukar petani. Hanya dengan itu, sektor pertanian akan surplus dan menarik kembali tenaga kerja ke desa atau paling tidak menahan laju urbanisasi.

No comments: