"Biarkan kekayaan alam itu di dalam tanah,
tunggu sampai anak bangsa mampu mengolah sendiri.
Jangan sampai kita menjadi budak kepentingan modal asing,
menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa” Soekarno.
Bahwa kehadiran UUPM ini sebagai kelanjutan dari cengkraman neoliberalisme/ neokolonialisme tidak perlu diperdebatkan. Sudah sangat jelas bahwa UUPM ini untuk korporasi, bukan untuk kepentingan rakyat. Jadi diktum menimbang ayat (c) yang selengkapnya berbunyi “bahwa untuk mempercepat pembangunan ekonomi nasional dan mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia diperlukan peningkatan penanaman modal untuk mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri” hanyalah mitos.
UUPM ini semakin menegaskan bahwa intervensi negara terhadap bekerjanya korporasi semakin nyata. Dunia usaha perlu jaminan keyamanan investasi, negara sudah memberinya. Pertanyaan selanjutnya, apakah dengan demikian bahwa seluruh bangunan argumentasi terhadap UU ini seperti penciptaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan dan pengangguran, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan sendiri terwujud ?
Mitos Investasi
Sejak pemerintah Soeharto, investasi menjadi diskursus yang melekat dalam politik pembangunan nasional. Secara sengaja dipilih untuk menumbuhkan perekonomian saat itu. Hanya saja perlu diketahui bahwa investasi pada awalnya adalah bagian dari tata cara rejim kolonial melakukan proses eksploitasi terhadap sumber daya alam dan tenaga kerja di negeri jajahannya.
Pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dari proses investasi memang benar terjadi. Hanya saja tidak dapat disangkal bahwa sejalan dengan itu proses diferensiasi sosial juga terjadi. Akibat nyata yang dapat kita saksikan sampai hari ini adalah semakin banyaknya jumlah petani gurem dan buruh tani.
Benar adanya, bahwa DPR/pemerintah telah melakukan kesesatan berpikir dengan mengesahkan UUPM ini (Revrisond Baswir;2007). Investasi ditempatkan sebagai variabel utama dalam mengatasi kemiskinan dan pengangguran di Indonesia, padahal kemiskinan dan pengangguran itu adalah hasil dari membuka ruang sebesar-besarya terhadap investor melalui UU PMA/PMDN.
Adalah benar-benar sesat pikir kalau para investor diasumsikan akan menolong orang miskin di Indonesia. DPR/Pemerintah kita telah mengabaikan kenyataan bahwa kenyaman investasi hanya memfasilitasi pada korporasi untuk melakukan akumulasi modal sambil mengambil aset kepemilikan publik (accumulation by dispossession), atau mengakumulasi modal secara besar-besaran melalui produksi, perdagangan dan perluasan konsumsi.
Kebangkrutan Nasionalisme
Pupus sudah nasionalisme kita. UUPM ini hanya gong, karena pada dasarnya aset dan sumber daya alam telah terjual habis. Kehadiran UUPM semakin menjauhkan kita dari upaya membebaskan bangsa Indonesia dari jejak kolonialisme. Bahkan yang terjadi adalah menyerahkan kedaulatan bangsa secara bulat-bulat pada pihak asing.
Mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengingatkan kembali bahwa watak dasar dari korporasi adalah eksploitasi, dan seperti yang kita saksikan sama-sama bahwa tanggujawab korporasi sagatlah lemah. Akankah kita mengulangi kesalahan dimana usaha korporasi lebih besar daya rusaknya ketimbang pendapatan negara. Bahkan yang paling menyedihkan bahwa hampir-hampir negara kita tercabik-cabik hanya karena perlindungan negara terhadap korporasi. Kasus Aceh, Papua, dan Ambon cukup menjadi pelajaran penting.
No comments:
Post a Comment