Diakui atau tidak, pelaksanaan landrefrom 1960-1965 lah yang paling siap. Bila dilihat dari segi dukungan pemerintah, politisi serta kesiapan organisasi rakyatnya, terutama organisasi tani saat itu.
Dua syarat ini selalu menjadi titik tekan untuk keberhasilan program landreform. Namun pelaksanaan landreform di era itu tetap gagal, bahkan nyaris tidak ada bekasnya kecuali UUPA No.5/1960 yang sampai saat ini dimandulkan dan dikhianati di masa pemerintah Soeharto.
Saat ini muncul berapa analisis terkait dengan kegagalan pelaksanaa landrform 1960-1965. Salah satunya adalah gerakan anti reform (yang dirugikan dari program landreform) yang terus membesar dan beresonansi dengan kekuatan elit negara yang sedang berkelahi.
Bercermin dari kegagalan landreform tahun 1960-1965, maka tantangan terbesar dari Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) adalah menemukan dan menentukan pendukung utama untuk menghadang kekuatan anti landreform yang dipastikan akan bereaksi.
Gerilia Kepala BPN, dengan mendatangi Jaksa Agung, Kapolri, Panglima TNI dan meloby DPR patut dihargai. Proses itu harus ditempatkan sebagai upaya memperkuat komitmen politik pemerintah yang memang perkara sangat penting sebagai syarat keberhasilan reforma agraria.
Tetapi gejala di atas bisa bermakna sebagai tanda landreform by grace yang sedang menguat. Maka tentu kewaspadaan penting ditingkatkan, karena salah satu kesimpulan penting dari landreform by grace adalah ketergantungannya pada pasar politik. Artinya boleh jadi reforma agraria kita hanya seumur jagung. Syukur-syukur kalau pengusungnya memenangkan kembali di pemilu 2009, atau berharap bahwa pemenang pemilu 2009 juga punya komitmen politik yang kuat untuk reforma agraria.
Dari pada berharap-harap cemas, maka penting organisasi rakyat diundang untuk menjadi pendukung utama dari Program Pembaruan Agraia Nasional (PPAN). Caranya adalah bahwa PPAN itu adalah Reforma Agraria yang sedangdiperjuangkan oleh Organisasi Rakyat saat ini, yakni penyelesaian konflik agraria dan legalisasi tanah-tanah yang sudah direclaiming/okupasi oleh rakyat.
Saat ini, sekuat apapun kemauan politik pemerintah untuk landreform tetap harus dalam jalur landreform by leverage. Karena pemerintah dan politisi kita saat ini adalah mereka dari kelas yang bukan petani/nelayan atau masyarakat adat. Landreform by leverage berarti bahwa pelaksanaan landreform tidak boleh ada atas nama politik representasi. Masa depan landreform di Indonesia haruslah dirumuskan dan ditentukan dan dari kelas petani/nelayan dan masyarakat adat. Ingat, tugas sejarah yang belum usai adalah menuntaskan transisi agraris. Transisi agraris membutuhkan struktur agraria, sistem politik dan organisasi rakyat tertentu, dan itu harus ditentukan oleh kelas petani/nelayan dan masyarakat adat melalui landreform by leverage.
Dua syarat ini selalu menjadi titik tekan untuk keberhasilan program landreform. Namun pelaksanaan landreform di era itu tetap gagal, bahkan nyaris tidak ada bekasnya kecuali UUPA No.5/1960 yang sampai saat ini dimandulkan dan dikhianati di masa pemerintah Soeharto.
Saat ini muncul berapa analisis terkait dengan kegagalan pelaksanaa landrform 1960-1965. Salah satunya adalah gerakan anti reform (yang dirugikan dari program landreform) yang terus membesar dan beresonansi dengan kekuatan elit negara yang sedang berkelahi.
Bercermin dari kegagalan landreform tahun 1960-1965, maka tantangan terbesar dari Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) adalah menemukan dan menentukan pendukung utama untuk menghadang kekuatan anti landreform yang dipastikan akan bereaksi.
Gerilia Kepala BPN, dengan mendatangi Jaksa Agung, Kapolri, Panglima TNI dan meloby DPR patut dihargai. Proses itu harus ditempatkan sebagai upaya memperkuat komitmen politik pemerintah yang memang perkara sangat penting sebagai syarat keberhasilan reforma agraria.
Tetapi gejala di atas bisa bermakna sebagai tanda landreform by grace yang sedang menguat. Maka tentu kewaspadaan penting ditingkatkan, karena salah satu kesimpulan penting dari landreform by grace adalah ketergantungannya pada pasar politik. Artinya boleh jadi reforma agraria kita hanya seumur jagung. Syukur-syukur kalau pengusungnya memenangkan kembali di pemilu 2009, atau berharap bahwa pemenang pemilu 2009 juga punya komitmen politik yang kuat untuk reforma agraria.
Dari pada berharap-harap cemas, maka penting organisasi rakyat diundang untuk menjadi pendukung utama dari Program Pembaruan Agraia Nasional (PPAN). Caranya adalah bahwa PPAN itu adalah Reforma Agraria yang sedangdiperjuangkan oleh Organisasi Rakyat saat ini, yakni penyelesaian konflik agraria dan legalisasi tanah-tanah yang sudah direclaiming/okupasi oleh rakyat.
Saat ini, sekuat apapun kemauan politik pemerintah untuk landreform tetap harus dalam jalur landreform by leverage. Karena pemerintah dan politisi kita saat ini adalah mereka dari kelas yang bukan petani/nelayan atau masyarakat adat. Landreform by leverage berarti bahwa pelaksanaan landreform tidak boleh ada atas nama politik representasi. Masa depan landreform di Indonesia haruslah dirumuskan dan ditentukan dan dari kelas petani/nelayan dan masyarakat adat. Ingat, tugas sejarah yang belum usai adalah menuntaskan transisi agraris. Transisi agraris membutuhkan struktur agraria, sistem politik dan organisasi rakyat tertentu, dan itu harus ditentukan oleh kelas petani/nelayan dan masyarakat adat melalui landreform by leverage.
No comments:
Post a Comment