Buruh, Neoliberalisme & Reforma Agraria

Masa suram masih terus menyelimuti kaum buruh Indonesia menjelan peringatan hari buruh Internasional. Tuntuan atas upah layak, pesangon, jaminan kesehatan, cuti hamil, kebebasan berserikat, tunjangan hari raya dan berbagai hak normatif lainnya hanya sebatas wacana.

Disisi lain, ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) terus jadi momok menakutkan bagi buruh. Beberapa kebijakan yang lahir tidak semakin menguatkan posisi buruh. Justru memicu makin luas ruang pemutusan hubungan kerja.

Bekerjanya sistem ekonomi liberal di lapangan industri berakibat semakin melemahnya tanggung jawab sosial pengusaha terhadap buruh dan semakin renggangnya hubungan pengusaha-buruh dalam suatu sistem produksi. Situasi inilah yang semakin melemahkan posisi buruh dihadapan pengusaha.

Kebijakan Perburuhan Untuk Siapa ?
Persoalan utama di tenaga kerja kita adalah laju angkatan kerja tidak berbanding lurus dengan lapangan kerja yang tersedia. Laju pengangguran pun tiap tahun meningkat. Laporan kompas menunjukkan bahwa dalam kurung waktu 20 tahun terakhir, penyerapan tenaga kerja terus menurun. Untuk tahun 2006 ini, dari 106,28 juta jiwa angkatan kerja yang bekerja hanya 95,18 juta jiwa dan sisanya 106,28 juta menganggur. (Kompas,28 April 2007).

Situasi inilah yang hendak dijawab oleh pemerintah melalui penciptaan iklim investasi yang kondusif. Reformasi kebijakan ketenagakerjaan pun menjadi target, salah satunya adalah rencana untuk mereformasi UUK No.13/2003 yang ditentang oleh buruh. Hanya saja, proses reformasi kebijakan inilah yang menjadi pemicu konflik pengusaha-buruh sampai hari ini. Karena reformasi kebijakan ketenagakerjaan bermuara pada penciptaan pasar tenaga kerja yang fleksibel (labor market flexibility).

Penerapan sistem labor market flexibility (LMF) hanya menguatkan posisi pengusaha untuk mengontrol dan mengembangkan modalnya denan biaya produksi yang rendah. Bahkan dengan sistem ini, pengusaha dengan mudah mengontrol dan mengurangi jumlah tenaga kerja dengan menerapkan skema outsourcing atau sistem kerja kontrak.

Bila reformasi kebijakan ketenagakerjaan hanya menguatkan pasar tenaga kerja, maka dipastikan bahwa cita-cita untuk membangun industri nasional yang kuat tidak akan tercapai. Untuk membangun industri nasional yang kuat, maka menguatkan posisi buruhlah menjadi bagian penting dari reformasi kebijakan ketenagakerjaan, bukan menguatkan hanya posisi pengusahanya.


Persoalan Buruh dan Reforma Agraria
Kompleksitas persoalan buruh hari ini sebenarnya cermin dari diabaikannya persoalan agraria masa lalu. Gejala urbanisasi yang terus meninggi tiap tahun karena ekonomi pedesaan tidak memberi surplus. Jadi tenaga kerja kota saat ini adalah tenaga kerja desa yang terlempar ke kota dengan tidak memalalui proses transformasi ekonomi/pekerjaan yang wajar.

Karenanya, penting mengaitkan reformasi kebijakan ketenagakerjaan dengan kewajiban pemerintah untuk menjalankan reforma agraria. Urgensinya tidak hanya untuk menahan laju urbanisasi, menciptakan lapangan pekerjaan di desa, tetapi tujuan-tujuan ekonomis dari pelaksanaan reforma agraria akan mendukung pembangunan industri nasional yang kokoh.

Tujuan ekonomis dari pelaksanaan reforma agraria yang menguatkan basis industri nasional antara lain didapatkan melalui pembangunan pertanian yang efesien dan responsive terhadap sektor industri, misalnya kebutuhan tenaga kerja, bahan pokok, bahan baku industri, modal dan mata uang asing. (Noer Fauszi;2003).

Dengan demikian, tidak perlu lagi mengulang cara lama untuk menguatkan perekonomian bangsa. Misalnya dengan meyiapkan tenaga kerja murah, eksploitasi sumber daya alam, perlindungan terhadap pasar domestik, dan kestabilan politik. Karena semua itu terbukti hanya menciptakan perekonomian bangsa menjadi keropos. Reforma Agraria adalah jalan menuju pembangunan industri yang kuat melalui integrasi ekonomi desa-kota.

No comments: