Untuk tiap tahunnya kembali kita memperingati hari agraria, atau hari kelahiran UUPA No.5/1960. 24 September 2006 ini, umurnya 46 tahun. Bagi pemerhati persoalan agraria, kemiskinan yang sedang melanda negeri ini, terutama nasib kaum tani pedesaan salah satu sebabnya karena pengabaian terhadap UUPA ini.
Dulu, ketika perumusan UUPA ini digodok, semangatnya adalah anti imperialisme dan kolonialisme. Alasannya jelas, para pemikir agraria melihat bahwa imperealisme dan kolonialisme menjadi pangkal kemiskinan dan kemelaratan rakyat melalui penguasaan atas tanah dan sumber-sumber agraria.
Setelah UUPA lahir, maka watak anti imprialisme dan kolonialismenya pun tercermin. Semangat untuk menghilangkan jejak dan warisan ketidakadilan pemerintah kolonial telihat jelas baik di filosofi yang mendasari, pasal-pasalnya sampai pada penjelasan umum serta penjelasan pasal demi pasal.
Dan bila disarikan UUPA itu mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut ;1) hubungan antara tanah dan bangsa Indonesia bersifat abadi, 2) tanah merupakan kekayaan nasional, 3) tanah dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, 4) pengakuan dan penghormatan hak ulayat, 5) prinsip landreform, 6) menjamin perlindungan kepentingan golongan ekonomi lemah, 7) prinsip nasional atau kebangsaan, 8) kesetaraan gender, 9) memperhatikan keseimbangan lingkungan, dan 10) pengejawantahan Pancasila serta UUD 1945
Dimandulkan Dan Dikhianati
Masa ORBA berkuasa, UUPA tidak mendapat tempat dalam strategi dan kebijakan pembangunannya. Keberpihakan terhadap pembangunan ekonomi model kapitalis, menjadi lonceng kematian bagi UUPA. Strategi pembangunan dirumuskan dan direalisasikan dengan ciri utama, pertumbuhan ekonomi, kebijakan pintu terbuka untuk invetasi asing maupun domestik, serta membangun rezim yang otoritarian demi terciptanya stabilitas.
Point penting yang perlu dicatat sebagai bagian dari pengkhiatan terhadap UUPA adalah dilahirkannya sejumlah kebijakan agraria yang isinya sama sekali bertentangan dengan UUPA, seperti UU No.11/1967 Tentang Peratmbangan, UU No.5/1967 tentang Kehutanan, UU Penanam Modal Asing, UU No.1/1974 tetnang Pengairan dan UU No.9/1985 tentang Perikanan.
Dampak yang terasa sampai saat ini adalah konflik agraria dimanamana yang dibarengi dengan pelanggaran hak asasi manusia yang luar biasa, serta ketimpangan penguasaan agraria yang begitu mencolok. Karenanya, tidak terlalu berlebihan bila mayoritas penggiat reforma agraria memandang bahwa status krisis saat ini terakumulasi pada krisis keadilan, krisis layanan alam dan krisis produktivitas rakyat, (Noer Fauzi;2003). Dan tiga krisis inilah sumber utama dari kemiskinan di Indonesia.
Kembali Ke Khittah UUPA No.5/1960
Ajakan penulis untuk kembali ke khittah UUPA No.5/1960 pada dasarnya dilandasi dari pemikiran salah satu bapak proklamator RI, Mohammad Hatta. Dua tahun sebelum Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, beliau berkata “Indonesia di masa datang mau menjadi negeri yang makmur, supaya rakyatnya dapat serta pada kebudayaan dunia dan ikut serta mempertinggi peradaban. Untuk mencapai kemakmuran rakyat di masa datang, politik perekonomian mestilah disusun di atas dasar yang ternyata sekarang. Yaitu, Indonesia sebagai negeri agraris. Oleh karena tanah faktor produksi yang terutama, maka hendaknya peraturan milik tanah memperkuat kedudukan tanah sebagai sumber kemakmuran bagi rakyat umum”
Khittah UUPA No.5/1960 adalah merubah karakter Negara kolonial menjadi Negara nasional yang merdeka, serta menghapus watak imperealisme dan feodalisme yang menghambat kemajuan rakyat Indonesia. Para perumus UUPA sangat meyakini bahwa hanya dengan merubah stuktur penguasaan agraria melalui reforma agraria, kesejahteraan rakyat dapat terwujud.
Mengakhiri tulisan ini, penulis ingin menandaskan bahwa reforma agraria yang diamanahkan oleh UUPA No.5/1960 adalah langkah penting yang harus dilalui oleh bangsa Indonesia untuk menata perekonomiannya. Karena Tanpa reforma agraria, maka menurut Bonnie Setiawan (Noer Fauzi;2003) “fondasi ekonomi nasional akan keropos dan setelahnya perekonomian akan mengalami kontradiksi permanen dan menciptakan keterbelakangan.
Kembali Ke Khittah UUPA No.5/1960
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment