Catatan A. Umar Said
Tulisan tentang kritik tajam Joseph E. Stiglitz, pakar ekonomi Amerika yang terkenal sekali di dunia, terhadap berbagai politik pemerintah Indonesia mengenai modal asing, rupanya mendapat perhatian dari banyak kalangan di Indonesia. Agaknya, perhatian yang besar sekali terhadap kritik Stiglitz ini disebabkan karena masalah penanaman modal asing ini sedang menjadi persoalan hangat yang besar sekali di berbagai kalangan, terutama di kalangan organisasi
Joseph E. Stiglitz adalah professor dalam ekonomi, yang pernah menjabat sebagai penasehat ekonomi terkenal Presiden Bill Clinton, dan dipilih sebagai Wakil Direktur Bank Dunia, serta menduduki jabatan-jabatan penting di berbagai badan ilmiah dan organisasi Amerika dan internasional, yang berkaitan dengan masalah-masalah ekonomi dan permbangunan. Ia telah menulis banyak buku yang berkaitan dengan masalah-masalah ekonomi di dunia, dan telah memperoleh Hadiah Nobel karena keahliannya.
Mengenai Indonesia Stiglitz sudah sering mengemukakan pendapatnya dalam berbagai ceramah atau tulisannya, baik selama kunjungannya di
“Pemerintah diminta menegosiasi ulang kontrak-kontrak pertambangan yang terindikasi merugikan kepentingan rakyat. Jika pemerintah
"Mereka (para perusahaan tambang asing) tahu kok bahwa mereka sedang merampok kekayaan alam negara-negara berkembang," kata Stiglitz
Negosiasi ulang kontrak karya ini juga sangat mungkin dilakukan dengan Freeport McMoran, yang memiliki anak perusahaan PT Freeport
”Stiglitz mencontohkan ketegasan sikap Rusia terhadap Shell. Rusia mencabut izin kelayakan lingkungan hidup yang dikantongi Shell. Ini karena perusahaan minyak itu didapati melanggar Undang-Undang Lingkungan Hidup dengan melakukan pencemaran lingkungan. "Kalau melanggar undang-undang, ya izinnya harus dicabut dong," kata dia.
”Seperti ramai diberitakan beberapa waktu lalu,
Sebagai seorang ahli di bidang ekonomi, yang pernah menjabat Wakil Direktur Bank Dunia, dan anggota terkemuka dewan ekonomi presiden
Anjuran Stiglitz supaya pemerintah Indonesia menegosiasi ulang kontrak-kontrak pertambangan yang terindikasi merugikan kepentingan rakyat merupakan pembenaran atau penggarisbawahan tuntutan banyak kalangan di Indonesia, termasuk organisasi seperti : ABM (Aliansi Buruh Menggugat), Koalisi Anti Utang, WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), Debt Watch, FSPI (Federasi Serikat Petani Indonesia), INFID (International NGO's Forum for Indonesian Development), JATAM (Jaringan Advokasi Tambang), KPKB (Kelompok Perempuan untuk Keadilan Buruh), KoAge (Koalisi Anti Globalisasi Ekonomi), KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), LBH Apik , PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia), Perkumpulan Bumi, Sekretariat Bina Desa, SP (Solidaritas Perempuan) SEKAR, Aliansi Perempuan
untuk Keterwakilan Politik, AKATIGA, STN (Serikat Tani Nasional), SPOI (Serikat Pekerja Otomotif Indonesia), Lapera Indonesia, The Institute for Global Justice, FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia), Serikat Mahasiswa Indonesia,), LS-ADI (Lembaga Studi dan Aksi Untuk Demokrasi), LBH-Jakarta, PRD, Papernas, Perhimpunan Rakyat Pekerja, Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), Federasi Serikat Buruh Jabotabek, (dan banyak organisasi lainnya).
Stiglitz menegaskan bahwa kalau pemerintah
Stiglitz dianggap “pengkhianat” kepentingan World Bank dan IMF
Pernyataan Stiglitz mengenai pentingnya negosiasi ulang kontrak-kotrak dengan para investor asing ini juga tercermin dalam kalimatnya yang mengatakan bahwa perusahaan tambang asing itu pada umumnya tahu bahwa mereka sedang merampok kekayaan alam negara-negara berkembang Bahasa yang digunakan Stiglitz, sebagai ahli ekonomi yang terpandang di dunia, yang mengatakan bahwa investor-investor asing itu “merampok kekayaan alam negara-negara berkembang” adalah ucapan yang terlalu terus-terang dan tidak tanggung-tanggung, dan langsung menusuk jantung hati para investor skala dunia itu.
Itulah sebabnya maka sebagai seorang yang pernah menjabat wakil Direktur Bank Dunia ia dijuluki oleh sebagian kalangan sebagai “pengkhianat”. Sikapnya yang kritis sekali terhadap politik dan praktek-praktek yang dilakukan IMF, dan yang menentang akibat-akibat negatif globalisasi, membikin dirinya terkenal sebagai seorang yang membela kepentingan negara-negara miskin dan dunia ketiga umumnya. Ia juga termasuk seorang di antara tokoh-tokoh yang melawan pencemaran lingkungan hidup.
Masalah Freeport : akibat politik yang salah Orde Baru
Juga, sebagai orang yang pernah menduduki jabatan yang begitu tinggi dan penting dalam pemerintahan Amerika pernyatannya mengenai perlunya ada negosiasi ulang dengan PT Freeport
Sikap Stiglitz yang demikian penting ini kiranya perlu mendapat sambutan dari banyak kalangan, baik dari kalangan pemerintah maupun tokoh-tokoh masyarakat, para intelektual dan organisasi masyarakat. Karena, kasus PT Freeport adalah salah satu di antara kasus-kasus yang paling parah yang dihadapi negara Indonesia, sebagai akibat politik yang salah selama puluhan tahun dari rejim militer Orde Baru sejak tahun 1967.
Tetapi, masalah investasi asing yang dihadapi negara
Bukan hanya
Ini terjadi dengan kasus investasi Exxon Mobil di Aceh (NAD), Laverton Gold di Sumatera Selatan, Chevron, Rio Tinto dan KPC di Kalimntan Timur, Arutmin di Kalimantan Selatan, Aurora Gold di Kalimantan Tengah , PT Inco di Sulawesi Selatan, Expan Tomori di Sulawesi Tengah, Antam Pomalaan di Sulawesi Tenggara, Newmont di Sulawesi Utara dan Sumbawa, PT Arumbai di Nusa Tenggara Timur, Newcrest, PT Anggal dan PT Elka Asta Media di Maluku, Beyond Petroleum (BP) Tangguh di Papua.
Dalam menganjurkan kepada pemerintah
Yang juga sangat menarik dari interview Stiglitz ialah anjurannya supaya akibat praktek praktek buruk para investor asing di
Anjuran Stiglitz semacam itu adalah penting sekali kalau kita ingat kepada sikap para pejabat negara sejak pemerintahan Orde Baru yang membuka pintu lebar-lebar bagi masuknya investasi asing secara besar-besaran di berbagai bidang. Investor diberi segala macam pelayanan dan kemudahan-kemudahan, walaupun ternyata banyak menimbulkan masalah bagi rakyat dan merugikan kepentingan negara.
Gerakan extra-parlementer : tugas patriotic
Oleh karena DPR atau DPRD (atau DPD) tidak bisa diharapkan banyak untuk mengontrol berbagai politik pemerintahan mengenai investasi-investasi asing, maka peran berbagai organisasi non-pemerintah (ornop) dan media
Jadi, segala macam aksi-aksi extra-parlementer yang dilakukan oleh berbagai kekuatan dalam masyarakat untuk melawan segala politik buruk pemerintah di bidang penanaman modal asing adalah tugas atau kewajiban yang patriotik, yang perlu mendapat dukungan seluas mungkin dari segala fihak. Gerakan atau aksi-aksi extra-parlementer yang dilakukan berbagai tokoh masyarakat, ornop, dan ormas mahasiswa dan pemuda, adalah sangat mutlak perlunya untuk menghadapi dominasi modal asing di
Kiranya, kita semua patut selalu ingat bahwa dari 230 juta penduduk Indonesia sekitar separonya (atau sekitar 115 juta) hidup dengan kurang 2$US seharinya, dan bahwa ada pengangguran lebih dari 40 juta orang, dan juga lebih dari 40 juta orang hidup dalam kemiskinan, ditambah lagi dengan 13 juta anak-anak yang kurang makan.
Dengan banyaknya masalah-masalah parah yang sedang dihadapi bangsa dan negara kita dewasa ini, maka makin nyatalah bahwa dengan sistem pemerintahan dan konstelasi politik seperti yang sekarang ini tidak mungkin diadakan perubahan-perubahan radikal yang bisa membawa perbaikan hidup bagi sebagian besar rakyat. Apalagi, berbagai masalah besar dan parah seperti tersebut di atas dibikin lebih parah lagi dengan korupsi yang sudah merajalela dan pembusukan akhlak di berbagai kalangan masyarakat.
Sejumlah negeri-negeri di Amerika Latin (umpamanya Venezuela, Bolivia, Argentina dan juga Kuba) sedang menunjukkan kepada dunia bahwa jalan lain untuk mendatangkan perubahan besar dan perbaikan hidup rakyat banyak adalah mungkin, dan bukannya jalan yang ditunjukkan oleh Washington.
Pengalaman di berbagai negeri Amerika Latin ini patutlah sekali diperhatikan oleh semua golongan dan kalangan di
No comments:
Post a Comment